Kampanye Komunitas Melawan Neokolonialisme-Imperialisme
Sejarah
gelap penindasan struktural melalui penjajahan di dunia pada
prinsipnya adalah bagian dari sejarah dominasi dan eksploitasi manusia
atas manusia (l’exploitation de l’homme par l’homme). Sejarah itu tidak
kunjung berhenti, belum juga menemukan titik terangnya hingga saat ini.
Di berbagai penjuru dunia, masih banyak jerit derita dari kaum
tertindas—mulai dari kaum tani, kaum buruh, nelayan dan miskin kota.
Penderitaan ini jauh melampaui batas negara, lintas agama, lintas suku
bangsa, ras, dan batas geografis. Perang, ketidaksetaraan, kelaparan,
rendahnya pendidikan, pengangguran, degradasi lingkungan dan kemiskinan
adalah bukti nyata penjajahan yang terjadi di hampir seluruh penjuru
dunia dari mulai Asia, Amerika Latin hingga Afrika.
Penjajahan
atau imperialisme inilah yang terus bertransformasi. Ia berubah-ubah,
menyesuaikan diri: dari imperialisme kecil ke imperialisme raksasa,
dari imperialisme jaman dulu ke imperialisme jaman sekarang, dari
imperialisme kuno menjadi imperialisme modern. Imperialisme ini
dilahirkan dari rahim kapitalisme, dan imperialisme modern jelas lahir
dari rahim kapitalisme modern. Jika dulu kapitalisme kuno hanya
berpraktek dengan mode produksi yang menindas hanya dalam skala kecil,
maka kapitalisme modern saat ini berpraktek dengan mode produksi yang
sangat mengerikan. Lihatlah betapa masifnya jutaan hektar tanah yang
dikuasai untuk perkebunan, betapa banyak dan raksasanya pabrik-pabrik
dengan asap mengepul di udara milik investor, lihatlah gedung-gedung
pelayan jasa perbankan, asuransi, telekomunikasi yang mencakar langit.
Penjajahan gaya baru inilah disebabkan kebijakan dan praktek
neoliberalisme, yang oleh Soekarno dinyatakan sebagai
neokolonialisme-imperialisme (nekolim).
Jika dulu
penjajahan menggunakan pasukan bersenjata yang secara langsung
merepresi rakyat, penjajahan gaya baru menyusup diam-diam dan menindas
secara struktural. Jika dulu onderneming-onderneming kolonial merangsek
lahan rakyat, pabrik-pabrik perkebunan kolonial, memberangus hak-hak
kemerdekaan, hak-hak berkumpul, hak-hak berserikat, ditekan
habis-habisan oleh penjajah maka sekarang belum tentu seperti itu. Dulu
penjajahan langsung menginvasi daerah-daerah bangsa asli benua Asia,
Amerika dan Afrika. Kaum penjajah ini kemudian mengaduk-aduk bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, lalu mengisapnya hasilnya
untuk dialirkan langsung ke negara penjajah. Sekarang penjajahannya
sungguh berbeda, karena perkebunan-perkebunan raksasa tidaklah masuk
hanya dengan cara paksa. Hak-hak rakyat seakan-akan ditegakkan, namun
pada esensinya bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi
kita tetap digunakan untuk kepentingan pemilik kapital. Penjajahan
gaya baru tidak terang-terangan, ia tidak dirasakan oleh rakyat tetapi
secara ekonomi-politik, sosial dan budaya mempengaruhi pola pikir dan
segala sendi kehidupan kita sehari-hari.
Dulu tidak ada
yang namanya penjajahan budaya. Kini, akar budaya bangsa kita telah
terkikis oleh penetrasi budaya asing. Bukan juga berarti budaya asing
ini sesungguhnya jahat semua, namun neokolonialisme-imperialisme juga
merasuki rakyat melalui jalan budaya. Lihat betapa kita diatur untuk
terus berkonsumsi, bertindak individual, bahkan melupakan warisan luhur
budaya nenek moyang kita. Budaya agraris di negeri gemah ripah loh
jinawi Indonesia misalnya, terkikis dengan budaya industrial yang
bercirikan kapitalistik-neoliberal ala Barat. Gotong-royong yang
merupakan salah satu ciri khas bangsa Indonesia, juga sekarang makin
rapuh diterpa hegemoni budaya individualistik yang cenderung liberal.
Sementara, berbagai aspek budaya mulai dari kesenian, pendidikan,
bahasa dan pola hidup sekarang banyak dipengaruhi oleh hegemoni
Barat—padahal belum tentu sesuai dengan kepribadian bangsa.
Pada
tataran kehidupan sehari-hari, neokolonialisme-imperialisme ini masih
belum atau simpang siur dipahami rakyat. Namun rakyat tidak harus
minder jika masih tidak atau belum mengerti arti istilah-istilah ini.
Kita sebagai rakyat juga seharusnya jangan merasa diri kita bodoh atau
tidak cukup mampu untuk memahami hal-hal tersebut. Ketidakpahaman dan
kesimpangsiuran itu justru terjadi karena keinginan dan tujuan
antek-antek neokolonialisme-imperialisme sendiri. Sementara, berbagai
macam praktek penjajahan gaya baru di tingkat kehidupan sehari-hari
serta istilah yang membingungkan mereka gunakan sebagai topeng untuk
menutupi kejahatan mereka.
Neokolonialisme-imperialisme
ini adalah penjajahan baru, yang merupakan warisan historis penjajahan
lama. Tapi harus dimengerti dalam konteks Indonesia, dan dalam konteks
geopolitik Asia, Afrika dan Amerika Latin, neokolonialisme-imperialisme
sangatlah relevan jika merujuk sejarah kelam penjajahan. Karena itu
pula segala bentuk penindasan yang dialami setelah bangsa Indonesia
merdeka, dan juga setelah bangsa-bangsa lain di Asia, Afrika dan
Amerika Latin pun merdeka, tak lain dan tak bukan adalah praktek
neokolonialisme-imperialisme. Bentuk penindasan ini dilakukan via
kekerasan pemerintah cq negara dengan hukum (judicial violence) dalam
rangka melindungi penindasan modal (capital violence) dalam
cabang-cabang produksi yang seharusnya dikuasai oleh negara dan
digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. ‘Ekonomi-politik
keruk’ semacam inilah yang juga secara faktual dialami di Indonesia, dan
juga di negara-negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Secara
alamnya, memang kawasan ini pula yang kaya akan bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya.
Dampaknya
neokolonialisme-imperialisme juga sama mengerikan. Jutaan rakyat di
dunia—terutama di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin—menderita
kelaparan, ratusan juta lainnya masih dihantui kemiskinan. Sementara
segelintir orang tetap berkuasa, mengisap keuntungan dari arus
perputaran kapitalnya. Selanjutnya, surplus kapital tersebut masih juga
diputar lagi di negara-negara miskin dan berkembang. Kejadian ini
terus berulang hingga saat ini dengan aktor-aktor penjajahan baru
selain negara: perusahaan transnasional raksasa (TNCs) dan
lembaga-lembaga rejim internasional seperti Dana Moneter Internasional
(IMF), Bank Dunia dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Namun
secara historis, bangsa-bangsa di kawasan Asia, Afrika dan Amerika
Latin ini jugalah yang tercatat sebagai bangsa-bangsa pejuang yang
tidak diam saja menghadapi penjajahan. Bangsa-bangsa di Asia, Afrika
dan Amerika Latin inilah yang pertama kali bergerak melawan penjajah.
Bangsa-bangsa ini pulalah yang keinginan merdekanya sangat kuat. Dan
akhirnya bangsa-bangsa ini pula yang akhirnya menjadi negara-negara
merdeka di dunia, dengan perjuangan berat yang mengorbankan keringat,
darah dan air mata rakyatnya.
Setelah melewati perjuangan
melawan kolonialisme yang berabad-abad lamanya, mulai pertengahan abad
ke-20 di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin ini mulailah
bermunculan negara-negara yang merdeka. Dan pada tahun 1955, akhirnya
negara-negara dari kawasan Asia dan Afrika menyatakan kepada dunia
dengan suara lantang: bahwa rakyat di Asia dan Afrika menolak yang
namanya imperialisme. Dan bahwa hal ini diamini oleh konstitusi
Republik Indonesia UUD 1945 naskah asli sesuai pembukaannya, “Bahwa
kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan.” Momentum Konferensi Asia Afrika yang
dilaksanakan negara-negara baru tersebut tercatat dalam tinta emas
sejarah sebagai perlawanan terhadap penjajahan (anti-kolonialisme dan
anti-imperialisme), yang notabene selama berabad-abad diderita rakyat di
kawasan tersebut. Hingga saat ini, Dasasila Bandung yang menjadi hasil
Konferensi Asia Afrika masih tetap dirasakan relevan maknanya di level
global.
Namun situasi ekonomi-politik dunia yang
menindas tidak berhenti begitu saja. Pada tahun 1944, 11 tahun sebelum
Konferensi Asia Afrika berlangsung, muncul sebuah kesepakatan licik
untuk menguasai dunia. Dirancanglah sebuah rejim ekonomi-politik yang
mengatur tiga bagian besar isu secara global. Yang pertama adalah untuk
mengatur moneter (keuangan) dunia, yang kedua mengatur pembangunan
dunia, dan yang ketiga mengatur perdagangan dunia. Ketiga rejim yang
akhirnya menjadi kaki tangan neokolonialisme-imperialisme inilah yang
akhirnya membentuk rejim dana moneter internasional (IMF), rejim Bank
Dunia, dan rejim perdagangan dunia (GATT—yang lalu berubah menjadi
WTO).
Di bidang ekonomi-politik secara global, tahun 1944 ini juga
menjadi tonggak munculnya ideologi baru yang disebut sebagai
neoliberalisme. Ideologi inilah yang digunakan untuk menjajah kembali,
yang merupakan tahap kedua dari kolonialisme-imperialisme. Jika tahap
pertama kolonialisme-imperialisme dicirikan dengan ekspansi fisik dan
dimulai dari Eropa, maka tahap kedua ini dimulai dengan dominasi ilmu
pengetahuan dan model pembangunan dengan ideologi pembangunanisme
(developmentalisme). Ideologi pembangunanisme ini sendiri pernah
dipraktekkan di Indonesia dalam rejim Soeharto yang represif dan korup
(1966-1998).
Sementara tahap ketiga dari penjajahan ini
adalah yang seperti kita hadapi sekarang ini. Sesaat menjelang abad
ke-21 muncullah istilah globalisasi, yang sebenarnya adalah perwujudan
dari globalisasi-neoliberalisme. Globalisasi-neoliberalisme, yang
sering disebutkan sebagai globalisasi saja, jelas merupakan salah satu
transformasi kolonialisme-imperialisme menjadi
neokolonialisme-imperialisme atau penjajahan gaya baru, lewat tiga pilar
yang disebut Konsensus Washington, yakni (1) deregulasi; (2)
privatisasi; dan (3) liberalisasi pasar.
Globalisasi-neoliberal
merupakan suatu proses pengintegrasian sistem ekonomi-politik nasional
ke dalam sistem ekonomi-politik global, yang diperankan oleh
aktor-aktor utama dalam proses tersebut. Aktor-aktornya adalah
negara-negara penjajah baru, perusahaan transnasional raksasa (TNCs),
IMF, Bank Dunia dan WTO, serta lembaga-lembaga riset dan donor dunia.
Mereka inilah yang mempromosikan kebijakan dan praktek fundamentalisme
pasar, sehingga yang kuat secara kapital dialah yang terus berkuasa.
Prakteknya juga dicirikan dengan pelan-pelan mengurangi kedaulatan
rakyat dalam negara, sehingga peran negara lemah. Kurangnya peran
negara ini dimanfaatkan aktor-aktor tersebut untuk mengisap kembali
sumber daya manusia, bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di
negara-negara miskin dan berkembang.
Selanjutnya,
aktor-aktor ini juga menggunakan peran negara yang lemah untuk membuat
regulasi yang bisa menguntungkan mereka sendiri. UU atau peraturan yang
disahkan pastilah mengenai tiga hal: (1) Diposisikannya perekonomian
negara miskin dan berkembang sebagai pemasok bahan mentah bagi
industri-industri di negara maju; (2) Dijadikannya perekonomian negara
miskin dan berkembang sebagai pasar produk yang dihasilkan oleh
industri-industri di negara maju; dan (3) Dijadikannya perekonomian
negara miskin dan berkembang sebagai tempat untuk memutar kelebihan
kapital yang terdapat di negara-negara maju.
Beberapa hal
di atas itulah yang sebenarnya menjadi pangkal masalah. Dan masalah
yang diakibatkan ternyata tidak sama seperti yang terjadi pada jaman
Perang Dunia atau di jaman Perang Dingin antara Amerika Serikat versus
Uni Sovyet. Selama puluhan tahun sejak tahun 1940-an, sebenarnya secara
relatif perdamaian telah terwujud di dunia. Namun disana-sini masih
terlihat masalah-masalah yang sama berulang kembali dewasa ini.
Masalah-masalah yang terus terlihat jelas dewasa ini adalah, peperangan
yang menjatuhkan korban jutaan jiwa, jatuhnya bom atom, krisis nuklir,
kelaparan ratusan juta jiwa rakyat di seantero dunia, kemiskinan di
negara-negara belahan bumi selatan, serta ketidakseimbangan
ekonomi-politik dunia.
Nasib umat manusia tentu tidak
dapat ditentukan oleh beberapa bangsa yang kuat saja. Bangsa-bangsa
yang lebih muda, bangsa-bangsa tunas baru yang menyeruak ke permukaan
dari ratusan tahun kolonialisme, bangsa-bangsa baru di belahan bumi
selatan bumi ini telah bersedia maju untuk memikul tanggung jawab
bersama untuk mengubah dunia dari kekejaman penjajahan gaya baru.
Bahkan suara untuk membentuk tata dunia baru yang lebih
berperikemanusiaan dan berperikeadilan bisa dikatakan diinisiasi dari
bangsa-bangsa baru ini.
Bahwa imperialisme belum lagi
mati, itu jelas menjadi kesimpulan utama. Bahwa seluruh rakyat yang
berada di negara-negara Asia, Afrika, Amerika Latin dan bahkan dari
belahan dunia lain merasakannya kembali saat ini, adalah kenyataan yang
sebenar-benarnya. Penegasan yang dinyatakan rakyat adalah bahwa
imperialisme telah berubah bentuk, berubah muka, berubah praktek,
berubah modus operandi, berubah aktor-aktornya. Dan kesimpulannya tidak
bisa ditawar-tawar lagi. Penjajahan gaya baru,
neokolonialisme-imperialisme itu harus dilawan.
Telah
banyak pula muncul suara untuk melawan globalisasi-neoliberal dewasa
ini. Telah banyak pula suara untuk menegakkan kembali kedaulatan rakyat
dalam negara. Tak pupus pula rakyat di negara-negara Asia, Afrika dan
Amerika Latin mengetuk semua forum, pintu dan kesempatan di dalam
pergaulan masyarakat global untuk memerangi globalisasi-neoliberal. Dan
untuk berjuang menghadapinya, jelas negara-negara bangsa harus bersatu
dan tidak bisa tercerai-berai. Untuk memerangi makhluk terkutuk-musuh
kedaulatan rakyat ini, jelas harus terwujud solidaritas antarnegara,
antarbangsa, dan juga sesama rakyat sendiri.
Solidaritas
ini tidak hanya sekadar memupuk persaudaraan dan gotong-royong yang
kuat di antara seluruh rakyat tertindas, namun juga di sisi lain bahwa
secara faktual neokolonialisme-imperialisme ini sangatlah kuat. Ia
berwujud pada lapisan-lapisan yang kuat antaraktor-aktornya, ia
berwujud pada kolaborasi yang mengerikan dari bawah hingga atas, ia
terstruktur dari desa hingga ke level global, ia bergerak dari budaya
keseharian di tengah kehidupan rakyat jelata hingga ke forum-forum
internasional, ia bersilang-sengkarut dari perusahaan-perusahaan
raksasa, birokrat, pemerintah korup, penguasa, lembaga keuangan dan
perdagangan internasional, negara-negara hingga hegemoni global.
Realitas
global saat ini tentunya menuntut rakyat untuk bertindak secara tegas.
Dalam membangun solidaritas untuk melawan
neokolonialisme-imperialisme, rakyat memiliki peran yang sangat besar
untuk menjadi ujung tombak gerakan tersebut. Hanya dengan solidaritas
rakyat yang kuat, maka neokolonialisme-imperialisme bisa ditumbangkan
dengan segera. Kaum tani sebagai bagian dari rakyat tentunya harus pula
menyikapi perwujudan tata dunia baru melawan
neokolonialisme-imperialisme tersebut.
Bangsa Indonesia
adalah bangsa yang telah lama mengalami penderitaan akibat
kolonialisme, dari mulai jaman Portugis, Inggris, Belanda hingga
Jepang. Setelah merdeka pun, neokolonialisme-imperialisme masih
menggedor pintu kemerdekaan Indonesia dan berusaha meruntuhkan
pilar-pilar jembatan emas kemerdekaan. Namun rakyat Indonesia telah
bergerak. Mereka yang kelaparan, kini menuntut makan. Mereka yang buta
huruf, kini menuntut pendidikan yang layak. Kaum tani menuntut haknya
akan alat produksi pertaniannya yakni tanah. Kini eskalasi penuntutan
kedaulatan rakyat makin bertambah setiap harinya, walaupun rakyat terus
ditindas secara ekonomi-politik melalui kebijakan dan praktek
globalisasi-neoliberal. Hal ini sinkron dengan solidaritas rakyat di
seluruh dunia, yang terus berkembang melawan penindasan-penindasan yang
terjadi saat ini.
Berhasil atau tidaknya perlawanan
terhadap neokolonialisme-imperialisme tentu akan dinilai dari
hubungannya dengan gerakan rakyat. Generasi yang lalu, generasi
sekarang, maupun generasi yang akan datang akan menjadi aktor-aktor
nyata dari perjuangan. Kegagalan atau keberhasilan perjuangan akan
sangat tergantung dari gerakan rakyat tersebut. Selanjutnya,
keberhasilan perjuangan rakyat tersebut akan menuntun kita semua menuju
terwujudnya tata dunia baru tanpa neokolonialisme-imperialisme yang
sudah lama dicita-citakan rakyat.
Perjuangan
melawan neokolonialisme-imperialisme ini secara keseluruhan bisa
tercapai dengan memperhatikan beberapa konsepsi dan cita-cita rakyat,
seperti yang telah dinyatakan oleh Soekarno dalam pidato di depan
Sidang Umum PBB Ke-15, 30 September 1960. Konsepsi dan cita-cita
tersebut tertuang dalam lima dasar yang merupakan konsepsi universal,
yang bisa dijadikan dasar sebagai perjuangan mewujudkan tata dunia baru
melawan neokolonialisme-imperialisme. Kelima konsepsi dan cita-cita
rakyat tersebut dinyatakan sebagai berikut:
1.Ketuhanan Yang Maha Esa.
Bangsa-bangsa
di dunia meliputi orang-orang yang menganut berbagai macam agama. Ada
yang Islam, ada yang Kristen, ada yang Buddha, Hindu, dan lainnya. Hal
tersebut pun merupakan fakta yang awam di Indonesia. Meskipun demikian,
untuk saat ini 85 persen dari seluruh rakyat Indonesia beragama Islam.
Berpangkal pada kenyataan ini dan mengingat akan berbeda-beda tapi
bersatunya bangsa Indonesia, kita menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa
sebagai yang paling utama dalam falsafah hidup berbangsa dan bernegara.
Ketuhanan Yang Maha Esa juga merupakan basis moral yang kuat dalam
mempersatukan perjuangan rakyat melawan neokolonialisme-imperialisme.
2. Nasionalisme.
Kekuatan
yang membakar dari nasionalisme dan hasrat akan kemerdekaan
mempertahankan hidup telah memberikan kekuatan yang mahabesar sepanjang
masa kegelapan kolonial pertama kali. Kekuatan inilah yang menyatukan
suku-suku bangsa, agama, ras, bahkan keterpisahan geografis. Kekuatan
ini pula yang mempersatukan seluruh elemen rakyat tersebut menegakkan
kedaulatan rakyat dan membangun negara-negara yang merdeka dari
kolonialisme. Menghadapi neokolonialisme-imperialisme, semangat
nasionalisme ini tetap membakar dan menyala-nyala di dada rakyat. Tapi
nasionalisme ini bukanlah nasionalisme yang kebablasan, bukanlah
nasionalisme sempit, bukanlah chauvinisme seperti yang dipraktekkan di
Jerman pada masa Hitler. Nasionalisme di negara-negara Asia, Afrika dan
Amerika Latin tidaklah sama dengan nasionalisme yang ada di
negara-negara penjajah. Di negara-negara penjajah, nasionalisme
berkembang sebagai kekuatan yang agresif yang terus berekspansi mencari
keuntungan bagi kepentingan ekonomi-politik nasionalnya. Nasionalisme
di negara-negara penjajah, terutama negara utara, adalah awal dari
kapitalisme yang dari rahimnya melahirkan kolonialisme-imperialisme.
Sedangkan nasionalisme di negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin
adalah nasionalisme yang berwujud pada gerakan pembebasan, yang
merupakan suatu koreksi total, yang berwujud pada gerakan perlawanan
rakyat terhadap neokolonialisme-imperialisme.
3. Internasionalisme
Dalam
dasar negara Indonesia, prinsip internasionalisme yang paling
universal adalah kemanusiaan yang adil dan beradab. Dalam tataran
global, prinsip universal ini dinyatakan dalam konsepsi perikemanusiaan
(humanity). Dihubungkan dengan nasionalisme, sesungguhnya antara
nasionalisme dan internasionalisme tidak ada perselisihan atau
pertentangan. Internasionalisme tidak akan bisa tumbuh dan berkembang
selain di atas tanah yang subur dari nasionalisme. Dulu ada Liga
Bangsa-Bangsa (LBB), sekarang ada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang
membuktikan bahwa harus ada sebuah lembaga yang menyatukan
bangsa-bangsa, lembaga yang bisa mendudukkan bangsa-bangsa dalam
kedudukan sederajat untuk mewujudkan perikemanusiaan. Namun prinsip
perikemanusiaan ini sama sekali bukanlah kosmopolitanisme—yang merupakan
penyangkalan terhadap nasionalisme, yang anti nasionalisme.
Bangsa-bangsa yang terdepan dalam gerakan perlawanan terhadap
neokolonialisme-imperialisme harus membuat internasionalisme tumbuh
subur dalam taman sarinya nasionalisme di dalam konteks negerinya, dan
sebaliknya nasionalismenya juga tumbuh dalam taman sarinya
internasionalisme.
4. Demokrasi
Demokrasi
adalah prinsip luhur yang mengutamakan kedaulatan rakyat. Pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat merupakan perwujudannya di
tingkat negara. Di negara kita, demokrasi dimengerti dalam praktek
“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan”. Musyawarah untuk mufakat juga merupakan
salah satu warisan peradaban beribu-ribu tahun lamanya. Namun harus
dimengerti pula, bahwa demokrasi untuk perlawanan terhadap
neokolonialisme-imperialisme bukanlah demokrasi ekonomi-politik seperti
yang sekarang ini. Demokrasi secara politis saat ini dikooptasi oleh
globalisasi-neoliberal dengan prinsip-prinsipnya yang malah melemahkan
kedaulatan rakyat, sehingga prakteknya selalu dalam prinsip-prinsip
demokrasi liberal. Demokrasi liberal diwujudkan melalui sistem
pemerintahan yang liberal dengan pemilu, partai politik, deal-deal
politik dan sistem pers yang liberal. Sistem ekonomi-politik juga
didasarkan ekonomi-politik neoliberal, dengan pengejawantahan Konsensus
Washington. Sistem demokrasi yang dipraktekkan dalam ranah global juga
berkarakteristik globalisasi-neoliberal, karena hanya dikuasai oleh
beberapa kepentingan: negara-negara kuat penjajah,
perusahaan-perusahaan transnasional raksasa, dan IMF, Bank Dunia serta
WTO. Demokrasi yang harus ditegakkan adalah demokrasi dengan
sebenar-benar terwujudnya kedaulatan rakyat, yang menjadikan kebijakan
dan implementasi ekonomi-politik di tingkat lokal, nasional maupun
global dan menjadi basis perlawanan terhadap
neokolonialisme-imperialisme.
5. Keadilan Sosial
Konsepsi
dan cita-cita rakyat ini adalah yang terakhir sekaligus yang paling
utama dari yang lain. Keadilan sosial ini secara konsepsi dirangkaikan
dengan kesejahteraan sosial, karena kedua hal tersebut tentunya tidak
bisa dipisahkan. Hal ini disebabkan jika dan hanya jika ada masyarakat
yang makmur maka bisa terwujud yang namanya masyarakat adil—sehingga
harus disebutkan sebagai ‘masyarakat adil dan makmur’, meskipun di
dalam kemakmuran tersebut bisa juga bersemayam ketidakadilan sosial.