Thursday, October 25, 2012

Teman ngopi pagi hari ini..


Kawan,
Sudah lebih dari satu dekade ini, setiapkali kita mendengar kata "Terorisme" maka sudah dipastikan pikiran kita akan langsung tertuju pada pergerakan Islam. Atau lebih tepatnya pada sekelompok orang/pemuda yang aktif dalam organisasi da'wah Islam, baik di negara ini maupun internasional. Saya tidak menafikan bahwa organisasi bawah tanah radikal semacam itu memang benar-benar ada di negara ini, akan tetapi nampaknya mayoritas manusia di negeri ini memang seringkali tidak mencerna berbagai arus informasi yang dikabarkan media massa, baik cetak maupun elektronik. Masyarakat kita yang 'katanya' beradab dan berpendidikan ini acapkali terjebak dalam penyeragaman bawah sadar yang dilakukan oleh para musuh-musuh Islam itu sendiri. Dan ironisnya, bangsa yang mayoritas muslim ini tampak lebih homophobic terhadap Islam dibandingkan dengan negara-negara lain yang masyarakatnya mayoritas non-muslim.

Banyak orang yang saya temui sejak beberapa tahun yang lalu selalu bilang bahwa yang berjenggot itu teroris, yang pada dahinya terdapat tanda bekas sujud itu teroris, yang memakai celana panjang diatas mata kaki itu teroris, yang sering ke masjid itu teroris, yang baca buku-buku Islam itu teroris, dan yang yang yang ini-itu adalah teroris. Sampai-sampai saya kemudian bertanya dalam hati, "Sebenarnya orang-orang ini ngerti nggak sih arti kata Teror/Teroris/Terorisme itu?". Hal yang sama juga pernah (dan masih) terjadi di negeri yang 'lagi-lagi katanya sih' demokratis ini. Yaitu sikap homophobic masyarakat terhadap ideologi kiri semacam Komunisme dan Sosialisme, bahkan sampai kepada pemahaman mereka pun masih banyak yang salah kaprah mengenai Anarkisme, Atheisme, dan Agnostik. Atau barangkali mayoritas masyarakat kita ini memang tidak pernah mengerti tentang 'Isme' itu sendiri. Lalu selama ini di sekolah mereka diajarkan apa? Korupsi?!

Apakah mereka tidak menganggap bahwa tindakan premanisme chauvinis yang sering dipakai sebagai jasa penagih hutang itu merupakan salah satu bentuk teror? Apakah mereka tidak menganggap bahwa aksi sewenang-wenang yang dilakukan aparat kepolisian/tentara terhadap rakyat sipil itu merupakan tindakan teror? Atau apakah mereka tidak pernah sadar bahwasanya papan reklame yang memenuhi ruang publik dan jeda iklan komersial di televisi itu merupakan salah satu teror terselubung? Sesungguhnya doktrin iklan komersial di televisi dan papan reklame yang memenuhi ruang publik itu lebih bahaya daripada khotbah ustadz-ustadz yang dicap radikal, bahkan lebih bahaya daripada Manifesto Komunisnya V.I Lenin, Das Kapitalnya Karl Marx, Zarathustranya Friedrich Nietzsche, dan Madilognya Tan Malaka.

Mengutip tulisan Karl May dalam bukunya yang berjudul Dan Damai Di Bumi: "Wabah penyakit telah menghantui masyarakat, yaitu prasangka."

Ya! Karena prasangka itulah masyakarat kita menjadi takut kepada orang-orang berjenggot, bercelana mengatung, berdahi hitam, berbaju gamis dan berjilbab lebar/bercadar. Karena itulah masyakarat kita juga menjadi takut kepada orang-orang yang membaca buku-buku ideologi kiri dan mendiskusikannya, bahkan sampai takut kepada orang-orang yang memilih untuk tidak memilih salah satu keyakinan/agama yang ditawarkan Pemerintah. Lalu, apakah kita harus mendiamkan saja prasangka-prasangka tersebut tumbuh subur hingga mengakar dan pada akhirnya akan menjadi kanker yang menghantui anak-cucu kita nanti? Apakah kita rela membiarkan anak-cucu kita nanti hidup di jaman modern yang mengadopsi kultur primitif?

Mulailah hari ini dengan membebaskan pikiranmu dari hegemoni tersebut, jangan kerdilkan otakmu. Seize The Day!

INFOSHOP ?

Infoshop adalah sebuah perpaduan antara toko buku radikal dan tempat penyimpanan arsip-arsip pergerakan. Aktivis-aktivis pergi ke tempat tersebut untuk sekedar membaca atau membeli literatur pergerakan, membeli stiker, masker dan cat semprot, menghadiri pertemuan, diskusi atau pemutaran film dan bahkan untuk sekedar nongkrong saja.

Infoshop merupakan sebuah pemandangan yang umum di Eropa, terutama sekali di Jerman yang telah memiliki lebih dari 60 buah infoshop. Mereka membentuk sebuah desentralisasi jaringan informasi, mendistribusikan majalah-majalah, selebaran dan sebagainya kepada para aktivis lokal serta menyediakan beragam informasi aktivitas lokal kepada infoshop lainnya.

Banyak sekali literatur diproduksi oleh infoshop dan didistribusikan via jaringan kerja infoshop ini. Ketika komunikasi yang krusial (penting dan mendesak) dibutuhkan, misalnya terjadi gonjang-ganjing di sebuah negara atau terjadi serangan dari kaum fasis, maka sebuah infoshop dapat segera melakukan kontak via telepon atau fax kepada infoshop lain untuk memohon bantuan atau melakukan mobilisasi aktivis lokal.

Jaringan kerja (network) dari infoshop merupakan bagian penting dari otonomi pergerakan kaum kiri di banyak negara di Eropa. Infoshop-infoshop tersebut melakukan pertemuan sebanyak dua kali dalam setahun di Eropa. Dalam pertemuan antar kolektif infoshop ini mereka saling memperbincangkan apa yang masing-masing mereka lakukan, saling bertukar informasi serta mendiskusikan teori dan strategi.

Kebanyakan infoshop menyewa sendiri tempat mereka, namun banyak juga yang menduduki gudang/gedung yang tidak dipakai lagi (squatting). Sementara yang lainnya menggunakan sebagian dari kafe atau tempat lain. Beberapa infoshop dikelola oleh sebuah kolektif, sementara yang lainnya memiliki kelompok yang bergantian tiap harinya untuk mengelola infoshop. Banyak infoshop yang memiliki hari/minggu/bulan khusus perempuan (women-only day).

Selain mengelola infoshop, banyak juga kelompok lain yang menggunakan infoshop ini sebagai tempat rapat dan juga sebagai alamat surat-menyurat. Yang terakhir disebut biasanya amat berguna bagi pertimbangan keamanan. Daripada menggunakan alamat pribadi, yang bisa membahayakan karena dapat di-represi oleh kaum fasis dan kepolisian, kelompok tersebut biasanya memiliki kotak surat di infoshop. Jika kelompok tadi mengalami masalah karena surat-surat mereka sudah lebih dulu dibuka atau dicuri, maka mereka dapat menggunakan amplop dobel: alamat yang didalam ditujukan bagi kelompok tersebut dan alamat luar ditujukan bagi infoshop.

Infoshop juga memainkan peran yang amat penting disini. Dengan banyak beredarnya terbitan-terbitan dari kaum anarkis dan kaum kiri, maka tak semua orang bisa mendapatkannya dengan mudah. Infoshop-infoshop tersebut biasanya banyak menerima media cetak pergerakan, ini tentunya akan banyak membantu informasi bagi pergerakan itu sendiri. Infoshop juga dapat dilengkapi dengan telepon, mesin faks atau komputer yang dapat memudahkan serta mempercepat komunikasi antar kelompok. Infoshop juga memegang peran sebagai sentral pergerakan, pembentuk komunitas serta memfasilitasi aksi. (wendi)

Artikel ini pernah dimuat sebelumnya di :

Slingshot
700 Eshleman Hall
Berkeley, CA 94702

Membangun Komunitas Melawan Neokolonialisme-Imperialisme


Kampanye Komunitas Melawan Neokolonialisme-Imperialisme

Sejarah gelap penindasan struktural melalui penjajahan di dunia pada prinsipnya adalah bagian dari sejarah dominasi dan eksploitasi manusia atas manusia (l’exploitation de l’homme par l’homme). Sejarah itu tidak kunjung berhenti, belum juga menemukan titik terangnya hingga saat ini. Di berbagai penjuru dunia, masih banyak jerit derita dari kaum tertindas—mulai dari kaum tani, kaum buruh, nelayan dan miskin kota. Penderitaan ini jauh melampaui batas negara, lintas agama, lintas suku bangsa, ras, dan batas geografis. Perang, ketidaksetaraan, kelaparan, rendahnya pendidikan, pengangguran, degradasi lingkungan dan kemiskinan adalah bukti nyata penjajahan yang terjadi di hampir seluruh penjuru dunia dari mulai Asia, Amerika Latin hingga Afrika.

Penjajahan atau imperialisme inilah yang terus bertransformasi. Ia berubah-ubah, menyesuaikan diri: dari imperialisme kecil ke imperialisme raksasa, dari imperialisme jaman dulu ke imperialisme jaman sekarang, dari imperialisme kuno menjadi imperialisme modern. Imperialisme ini dilahirkan dari rahim kapitalisme, dan imperialisme modern jelas lahir dari rahim kapitalisme modern. Jika dulu kapitalisme kuno hanya berpraktek dengan mode produksi yang menindas hanya dalam skala kecil, maka kapitalisme modern saat ini berpraktek dengan mode produksi yang sangat mengerikan. Lihatlah betapa masifnya jutaan hektar tanah yang dikuasai untuk perkebunan, betapa banyak dan raksasanya pabrik-pabrik dengan asap mengepul di udara milik investor, lihatlah gedung-gedung pelayan jasa perbankan, asuransi, telekomunikasi yang mencakar langit. Penjajahan gaya baru inilah disebabkan kebijakan dan praktek neoliberalisme, yang oleh Soekarno dinyatakan sebagai neokolonialisme-imperialisme (nekolim).

Jika dulu penjajahan menggunakan pasukan bersenjata yang secara langsung merepresi rakyat, penjajahan gaya baru menyusup diam-diam dan menindas secara struktural. Jika dulu onderneming-onderneming kolonial merangsek lahan rakyat, pabrik-pabrik perkebunan kolonial, memberangus hak-hak kemerdekaan, hak-hak berkumpul, hak-hak berserikat, ditekan habis-habisan oleh penjajah maka sekarang belum tentu seperti itu. Dulu penjajahan langsung menginvasi daerah-daerah bangsa asli benua Asia, Amerika dan Afrika. Kaum penjajah ini kemudian mengaduk-aduk bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, lalu mengisapnya hasilnya untuk dialirkan langsung ke negara penjajah. Sekarang penjajahannya sungguh berbeda, karena perkebunan-perkebunan raksasa tidaklah masuk hanya dengan cara paksa. Hak-hak rakyat seakan-akan ditegakkan, namun pada esensinya bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi kita tetap digunakan untuk kepentingan pemilik kapital. Penjajahan gaya baru tidak terang-terangan, ia tidak dirasakan oleh rakyat tetapi secara ekonomi-politik, sosial dan budaya mempengaruhi pola pikir dan segala sendi kehidupan kita sehari-hari.

Dulu tidak ada yang namanya penjajahan budaya. Kini, akar budaya bangsa kita telah terkikis oleh penetrasi budaya asing. Bukan juga berarti budaya asing ini sesungguhnya jahat semua, namun neokolonialisme-imperialisme juga merasuki rakyat melalui jalan budaya. Lihat betapa kita diatur untuk terus berkonsumsi, bertindak individual, bahkan melupakan warisan luhur budaya nenek moyang kita. Budaya agraris di negeri gemah ripah loh jinawi Indonesia misalnya, terkikis dengan budaya industrial yang bercirikan kapitalistik-neoliberal ala Barat. Gotong-royong yang merupakan salah satu ciri khas bangsa Indonesia, juga sekarang makin rapuh diterpa hegemoni budaya individualistik yang cenderung liberal. Sementara, berbagai aspek budaya mulai dari kesenian, pendidikan, bahasa dan pola hidup sekarang banyak dipengaruhi oleh hegemoni Barat—padahal belum tentu sesuai dengan kepribadian bangsa.
Pada tataran kehidupan sehari-hari, neokolonialisme-imperialisme ini masih belum atau simpang siur dipahami rakyat. Namun rakyat tidak harus minder jika masih tidak atau belum mengerti arti istilah-istilah ini. Kita sebagai rakyat juga seharusnya jangan merasa diri kita bodoh atau tidak cukup mampu untuk memahami hal-hal tersebut. Ketidakpahaman dan kesimpangsiuran itu justru terjadi karena keinginan dan tujuan antek-antek neokolonialisme-imperialisme sendiri. Sementara, berbagai macam praktek penjajahan gaya baru di tingkat kehidupan sehari-hari serta istilah yang membingungkan mereka gunakan sebagai topeng untuk menutupi kejahatan mereka.

Neokolonialisme-imperialisme ini adalah penjajahan baru, yang merupakan warisan historis penjajahan lama. Tapi harus dimengerti dalam konteks Indonesia, dan dalam konteks geopolitik Asia, Afrika dan Amerika Latin, neokolonialisme-imperialisme sangatlah relevan jika merujuk sejarah kelam penjajahan. Karena itu pula segala bentuk penindasan yang dialami setelah bangsa Indonesia merdeka, dan juga setelah bangsa-bangsa lain di Asia, Afrika dan Amerika Latin pun merdeka, tak lain dan tak bukan adalah praktek neokolonialisme-imperialisme. Bentuk penindasan ini dilakukan via kekerasan pemerintah cq negara dengan hukum (judicial violence) dalam rangka melindungi penindasan modal (capital violence) dalam cabang-cabang produksi yang seharusnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. ‘Ekonomi-politik keruk’ semacam inilah yang juga secara faktual dialami di Indonesia, dan juga di negara-negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Secara alamnya, memang kawasan ini pula yang kaya akan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Dampaknya neokolonialisme-imperialisme juga sama mengerikan. Jutaan rakyat di dunia—terutama di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin—menderita kelaparan, ratusan juta lainnya masih dihantui kemiskinan. Sementara segelintir orang tetap berkuasa, mengisap keuntungan dari arus perputaran kapitalnya. Selanjutnya, surplus kapital tersebut masih juga diputar lagi di negara-negara miskin dan berkembang. Kejadian ini terus berulang hingga saat ini dengan aktor-aktor penjajahan baru selain negara: perusahaan transnasional raksasa (TNCs) dan lembaga-lembaga rejim internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Namun secara historis, bangsa-bangsa di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin ini jugalah yang tercatat sebagai bangsa-bangsa pejuang yang tidak diam saja menghadapi penjajahan. Bangsa-bangsa di Asia, Afrika dan Amerika Latin inilah yang pertama kali bergerak melawan penjajah. Bangsa-bangsa ini pulalah yang keinginan merdekanya sangat kuat. Dan akhirnya bangsa-bangsa ini pula yang akhirnya menjadi negara-negara merdeka di dunia, dengan perjuangan berat yang mengorbankan keringat, darah dan air mata rakyatnya.

Setelah melewati perjuangan melawan kolonialisme yang berabad-abad lamanya, mulai pertengahan abad ke-20 di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin ini mulailah bermunculan negara-negara yang merdeka. Dan pada tahun 1955, akhirnya negara-negara dari kawasan Asia dan Afrika menyatakan kepada dunia dengan suara lantang: bahwa rakyat di Asia dan Afrika menolak yang namanya imperialisme. Dan bahwa hal ini diamini oleh konstitusi Republik Indonesia UUD 1945 naskah asli sesuai pembukaannya, “Bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Momentum Konferensi Asia Afrika yang dilaksanakan negara-negara baru tersebut tercatat dalam tinta emas sejarah sebagai perlawanan terhadap penjajahan (anti-kolonialisme dan anti-imperialisme), yang notabene selama berabad-abad diderita rakyat di kawasan tersebut. Hingga saat ini, Dasasila Bandung yang menjadi hasil Konferensi Asia Afrika masih tetap dirasakan relevan maknanya di level global.

Namun situasi ekonomi-politik dunia yang menindas tidak berhenti begitu saja. Pada tahun 1944, 11 tahun sebelum Konferensi Asia Afrika berlangsung, muncul sebuah kesepakatan licik untuk menguasai dunia. Dirancanglah sebuah rejim ekonomi-politik yang mengatur tiga bagian besar isu secara global. Yang pertama adalah untuk mengatur moneter (keuangan) dunia, yang kedua mengatur pembangunan dunia, dan yang ketiga mengatur perdagangan dunia. Ketiga rejim yang akhirnya menjadi kaki tangan neokolonialisme-imperialisme inilah yang akhirnya membentuk rejim dana moneter internasional (IMF), rejim Bank Dunia, dan rejim perdagangan dunia (GATT—yang lalu berubah menjadi WTO).
Di bidang ekonomi-politik secara global, tahun 1944 ini juga menjadi tonggak munculnya ideologi baru yang disebut sebagai neoliberalisme. Ideologi inilah yang digunakan untuk menjajah kembali, yang merupakan tahap kedua dari kolonialisme-imperialisme. Jika tahap pertama kolonialisme-imperialisme dicirikan dengan ekspansi fisik dan dimulai dari Eropa, maka tahap kedua ini dimulai dengan dominasi ilmu pengetahuan dan model pembangunan dengan ideologi pembangunanisme (developmentalisme). Ideologi pembangunanisme ini sendiri pernah dipraktekkan di Indonesia dalam rejim Soeharto yang represif dan korup (1966-1998).

Sementara tahap ketiga dari penjajahan ini adalah yang seperti kita hadapi sekarang ini. Sesaat menjelang abad ke-21 muncullah istilah globalisasi, yang sebenarnya adalah perwujudan dari globalisasi-neoliberalisme. Globalisasi-neoliberalisme, yang sering disebutkan sebagai globalisasi saja, jelas merupakan salah satu transformasi kolonialisme-imperialisme menjadi neokolonialisme-imperialisme atau penjajahan gaya baru, lewat tiga pilar yang disebut Konsensus Washington, yakni (1) deregulasi; (2) privatisasi; dan (3) liberalisasi pasar.

Globalisasi-neoliberal merupakan suatu proses pengintegrasian sistem ekonomi-politik nasional ke dalam sistem ekonomi-politik global, yang diperankan oleh aktor-aktor utama dalam proses tersebut. Aktor-aktornya adalah negara-negara penjajah baru, perusahaan transnasional raksasa (TNCs), IMF, Bank Dunia dan WTO, serta lembaga-lembaga riset dan donor dunia. Mereka inilah yang mempromosikan kebijakan dan praktek fundamentalisme pasar, sehingga yang kuat secara kapital dialah yang terus berkuasa. Prakteknya juga dicirikan dengan pelan-pelan mengurangi kedaulatan rakyat dalam negara, sehingga peran negara lemah. Kurangnya peran negara ini dimanfaatkan aktor-aktor tersebut untuk mengisap kembali sumber daya manusia, bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di negara-negara miskin dan berkembang.

Selanjutnya, aktor-aktor ini juga menggunakan peran negara yang lemah untuk membuat regulasi yang bisa menguntungkan mereka sendiri. UU atau peraturan yang disahkan pastilah mengenai tiga hal: (1) Diposisikannya perekonomian negara miskin dan berkembang sebagai pemasok bahan mentah bagi industri-industri di negara maju; (2) Dijadikannya perekonomian negara miskin dan berkembang sebagai pasar produk yang dihasilkan oleh industri-industri di negara maju; dan (3) Dijadikannya perekonomian negara miskin dan berkembang sebagai tempat untuk memutar kelebihan kapital yang terdapat di negara-negara maju.

Beberapa hal di atas itulah yang sebenarnya menjadi pangkal masalah. Dan masalah yang diakibatkan ternyata tidak sama seperti yang terjadi pada jaman Perang Dunia atau di jaman Perang Dingin antara Amerika Serikat versus Uni Sovyet. Selama puluhan tahun sejak tahun 1940-an, sebenarnya secara relatif perdamaian telah terwujud di dunia. Namun disana-sini masih terlihat masalah-masalah yang sama berulang kembali dewasa ini. Masalah-masalah yang terus terlihat jelas dewasa ini adalah, peperangan yang menjatuhkan korban jutaan jiwa, jatuhnya bom atom, krisis nuklir, kelaparan ratusan juta jiwa rakyat di seantero dunia, kemiskinan di negara-negara belahan bumi selatan, serta ketidakseimbangan ekonomi-politik dunia.

Nasib umat manusia tentu tidak dapat ditentukan oleh beberapa bangsa yang kuat saja. Bangsa-bangsa yang lebih muda, bangsa-bangsa tunas baru yang menyeruak ke permukaan dari ratusan tahun kolonialisme, bangsa-bangsa baru di belahan bumi selatan bumi ini telah bersedia maju untuk memikul tanggung jawab bersama untuk mengubah dunia dari kekejaman penjajahan gaya baru. Bahkan suara untuk membentuk tata dunia baru yang lebih berperikemanusiaan dan berperikeadilan bisa dikatakan diinisiasi dari bangsa-bangsa baru ini.

Bahwa imperialisme belum lagi mati, itu jelas menjadi kesimpulan utama. Bahwa seluruh rakyat yang berada di negara-negara Asia, Afrika, Amerika Latin dan bahkan dari belahan dunia lain merasakannya kembali saat ini, adalah kenyataan yang sebenar-benarnya. Penegasan yang dinyatakan rakyat adalah bahwa imperialisme telah berubah bentuk, berubah muka, berubah praktek, berubah modus operandi, berubah aktor-aktornya. Dan kesimpulannya tidak bisa ditawar-tawar lagi. Penjajahan gaya baru, neokolonialisme-imperialisme itu harus dilawan.

Telah banyak pula muncul suara untuk melawan globalisasi-neoliberal dewasa ini. Telah banyak pula suara untuk menegakkan kembali kedaulatan rakyat dalam negara. Tak pupus pula rakyat di negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin mengetuk semua forum, pintu dan kesempatan di dalam pergaulan masyarakat global untuk memerangi globalisasi-neoliberal. Dan untuk berjuang menghadapinya, jelas negara-negara bangsa harus bersatu dan tidak bisa tercerai-berai. Untuk memerangi makhluk terkutuk-musuh kedaulatan rakyat ini, jelas harus terwujud solidaritas antarnegara, antarbangsa, dan juga sesama rakyat sendiri.


Solidaritas ini tidak hanya sekadar memupuk persaudaraan dan gotong-royong yang kuat di antara seluruh rakyat tertindas, namun juga di sisi lain bahwa secara faktual neokolonialisme-imperialisme ini sangatlah kuat. Ia berwujud pada lapisan-lapisan yang kuat antaraktor-aktornya, ia berwujud pada kolaborasi yang mengerikan dari bawah hingga atas, ia terstruktur dari desa hingga ke level global, ia bergerak dari budaya keseharian di tengah kehidupan rakyat jelata hingga ke forum-forum internasional, ia bersilang-sengkarut dari perusahaan-perusahaan raksasa, birokrat, pemerintah korup, penguasa, lembaga keuangan dan perdagangan internasional, negara-negara hingga hegemoni global.

Realitas global saat ini tentunya menuntut rakyat untuk bertindak secara tegas. Dalam membangun solidaritas untuk melawan neokolonialisme-imperialisme, rakyat memiliki peran yang sangat besar untuk menjadi ujung tombak gerakan tersebut. Hanya dengan solidaritas rakyat yang kuat, maka neokolonialisme-imperialisme bisa ditumbangkan dengan segera. Kaum tani sebagai bagian dari rakyat tentunya harus pula menyikapi perwujudan tata dunia baru melawan neokolonialisme-imperialisme tersebut.

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang telah lama mengalami penderitaan akibat kolonialisme, dari mulai jaman Portugis, Inggris, Belanda hingga Jepang. Setelah merdeka pun, neokolonialisme-imperialisme masih menggedor pintu kemerdekaan Indonesia dan berusaha meruntuhkan pilar-pilar jembatan emas kemerdekaan. Namun rakyat Indonesia telah bergerak. Mereka yang kelaparan, kini menuntut makan. Mereka yang buta huruf, kini menuntut pendidikan yang layak. Kaum tani menuntut haknya akan alat produksi pertaniannya yakni tanah. Kini eskalasi penuntutan kedaulatan rakyat makin bertambah setiap harinya, walaupun rakyat terus ditindas secara ekonomi-politik melalui kebijakan dan praktek globalisasi-neoliberal. Hal ini sinkron dengan solidaritas rakyat di seluruh dunia, yang terus berkembang melawan penindasan-penindasan yang terjadi saat ini.

Berhasil atau tidaknya perlawanan terhadap neokolonialisme-imperialisme tentu akan dinilai dari hubungannya dengan gerakan rakyat. Generasi yang lalu, generasi sekarang, maupun generasi yang akan datang akan menjadi aktor-aktor nyata dari perjuangan. Kegagalan atau keberhasilan perjuangan akan sangat tergantung dari gerakan rakyat tersebut. Selanjutnya, keberhasilan perjuangan rakyat tersebut akan menuntun kita semua menuju terwujudnya tata dunia baru tanpa neokolonialisme-imperialisme yang sudah lama dicita-citakan rakyat.


Perjuangan melawan neokolonialisme-imperialisme ini secara keseluruhan bisa tercapai dengan memperhatikan beberapa konsepsi dan cita-cita rakyat, seperti yang telah dinyatakan oleh Soekarno dalam pidato di depan Sidang Umum PBB Ke-15, 30 September 1960. Konsepsi dan cita-cita tersebut tertuang dalam lima dasar yang merupakan konsepsi universal, yang bisa dijadikan dasar sebagai perjuangan mewujudkan tata dunia baru melawan neokolonialisme-imperialisme. Kelima konsepsi dan cita-cita rakyat tersebut dinyatakan sebagai berikut:
1.Ketuhanan Yang Maha Esa.
Bangsa-bangsa di dunia meliputi orang-orang yang menganut berbagai macam agama. Ada yang Islam, ada yang Kristen, ada yang Buddha, Hindu, dan lainnya. Hal tersebut pun merupakan fakta yang awam di Indonesia. Meskipun demikian, untuk saat ini 85 persen dari seluruh rakyat Indonesia beragama Islam. Berpangkal pada kenyataan ini dan mengingat akan berbeda-beda tapi bersatunya bangsa Indonesia, kita menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai yang paling utama dalam falsafah hidup berbangsa dan bernegara. Ketuhanan Yang Maha Esa juga merupakan basis moral yang kuat dalam mempersatukan perjuangan rakyat melawan neokolonialisme-imperialisme.
2. Nasionalisme.
Kekuatan yang membakar dari nasionalisme dan hasrat akan kemerdekaan mempertahankan hidup telah memberikan kekuatan yang mahabesar sepanjang masa kegelapan kolonial pertama kali. Kekuatan inilah yang menyatukan suku-suku bangsa, agama, ras, bahkan keterpisahan geografis. Kekuatan ini pula yang mempersatukan seluruh elemen rakyat tersebut menegakkan kedaulatan rakyat dan membangun negara-negara yang merdeka dari kolonialisme. Menghadapi neokolonialisme-imperialisme, semangat nasionalisme ini tetap membakar dan menyala-nyala di dada rakyat. Tapi nasionalisme ini bukanlah nasionalisme yang kebablasan, bukanlah nasionalisme sempit, bukanlah chauvinisme seperti yang dipraktekkan di Jerman pada masa Hitler. Nasionalisme di negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin tidaklah sama dengan nasionalisme yang ada di negara-negara penjajah. Di negara-negara penjajah, nasionalisme berkembang sebagai kekuatan yang agresif yang terus berekspansi mencari keuntungan bagi kepentingan ekonomi-politik nasionalnya. Nasionalisme di negara-negara penjajah, terutama negara utara, adalah awal dari kapitalisme yang dari rahimnya melahirkan kolonialisme-imperialisme. Sedangkan nasionalisme di negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin adalah nasionalisme yang berwujud pada gerakan pembebasan, yang merupakan suatu koreksi total, yang berwujud pada gerakan perlawanan rakyat terhadap neokolonialisme-imperialisme.
3. Internasionalisme
Dalam dasar negara Indonesia, prinsip internasionalisme yang paling universal adalah kemanusiaan yang adil dan beradab. Dalam tataran global, prinsip universal ini dinyatakan dalam konsepsi perikemanusiaan (humanity). Dihubungkan dengan nasionalisme, sesungguhnya antara nasionalisme dan internasionalisme tidak ada perselisihan atau pertentangan. Internasionalisme tidak akan bisa tumbuh dan berkembang selain di atas tanah yang subur dari nasionalisme. Dulu ada Liga Bangsa-Bangsa (LBB), sekarang ada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membuktikan bahwa harus ada sebuah lembaga yang menyatukan bangsa-bangsa, lembaga yang bisa mendudukkan bangsa-bangsa dalam kedudukan sederajat untuk mewujudkan perikemanusiaan. Namun prinsip perikemanusiaan ini sama sekali bukanlah kosmopolitanisme—yang merupakan penyangkalan terhadap nasionalisme, yang anti nasionalisme. Bangsa-bangsa yang terdepan dalam gerakan perlawanan terhadap neokolonialisme-imperialisme harus membuat internasionalisme tumbuh subur dalam taman sarinya nasionalisme di dalam konteks negerinya, dan sebaliknya nasionalismenya juga tumbuh dalam taman sarinya internasionalisme.
4. Demokrasi
Demokrasi adalah prinsip luhur yang mengutamakan kedaulatan rakyat. Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat merupakan perwujudannya di tingkat negara. Di negara kita, demokrasi dimengerti dalam praktek “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Musyawarah untuk mufakat juga merupakan salah satu warisan peradaban beribu-ribu tahun lamanya. Namun harus dimengerti pula, bahwa demokrasi untuk perlawanan terhadap neokolonialisme-imperialisme bukanlah demokrasi ekonomi-politik seperti yang sekarang ini. Demokrasi secara politis saat ini dikooptasi oleh globalisasi-neoliberal dengan prinsip-prinsipnya yang malah melemahkan kedaulatan rakyat, sehingga prakteknya selalu dalam prinsip-prinsip demokrasi liberal. Demokrasi liberal diwujudkan melalui sistem pemerintahan yang liberal dengan pemilu, partai politik, deal-deal politik dan sistem pers yang liberal. Sistem ekonomi-politik juga didasarkan ekonomi-politik neoliberal, dengan pengejawantahan Konsensus Washington. Sistem demokrasi yang dipraktekkan dalam ranah global juga berkarakteristik globalisasi-neoliberal, karena hanya dikuasai oleh beberapa kepentingan: negara-negara kuat penjajah, perusahaan-perusahaan transnasional raksasa, dan IMF, Bank Dunia serta WTO. Demokrasi yang harus ditegakkan adalah demokrasi dengan sebenar-benar terwujudnya kedaulatan rakyat, yang menjadikan kebijakan dan implementasi ekonomi-politik di tingkat lokal, nasional maupun global dan menjadi basis perlawanan terhadap neokolonialisme-imperialisme.
5. Keadilan Sosial
Konsepsi dan cita-cita rakyat ini adalah yang terakhir sekaligus yang paling utama dari yang lain. Keadilan sosial ini secara konsepsi dirangkaikan dengan kesejahteraan sosial, karena kedua hal tersebut tentunya tidak bisa dipisahkan. Hal ini disebabkan jika dan hanya jika ada masyarakat yang makmur maka bisa terwujud yang namanya masyarakat adil—sehingga harus disebutkan sebagai ‘masyarakat adil dan makmur’, meskipun di dalam kemakmuran tersebut bisa juga bersemayam ketidakadilan sosial.

Wednesday, October 24, 2012

Intro'doktrinasi' : Sebuah rekonstruksi atas imaji yang sekarat.


Kawan,
Sepertinya kami harus menceritakan kepada anda bagaimana kami beristirahat. Bagaimana kami saling berhadapan, saling memantau, berbagi luka dan ngilu, juga, tentu saja, berbagi umpatan. Bagaimana biasanya kami berkumpul membentuk lingkaran, mengepung diri kami sendiri dengan gugatan demi gugatan. Sebuah cerita tentang istirahat kami, yang boleh anda tinggalkan.
Praaankk!! Botol pecah. Seperti biasanya, tergantikan oleh beberapa cangkir berisi air hitam hangat, serta sebungkus racun yang akrab dengan sebutan sigaret kretek. A couple of this century, karena merekalah satu-satunya teman setia kami sekaligus pembunuh berdarah dingin yang senantiasa mendampingi kami setelah seharian bertempur menghadapi realitas hidup ini.


Kami orang-orang egois dan temperamental, terkumpul dalam sebuah kereta yang berjalan cepat tanpa masinis. Tidak ada pemimpin dikereta ini, yang itu artinya, semuanya pemimpin. Dan anda adalah anasir yang mempercepat laju. Kereta ini mungkin akan hancur berhamburan, tapi kami sadar, pada setiap persinggahan, semakin banyak penumpang, semakin banyak orang yang bersandar dan ingin tamasya didalamnya. Mendapati gerbong-gerbong lain.

Banyak orang yang begitu lelah menghadapi hidup, juga bosan yang sekarat itu, dan berharap mendapatkan tonikum disini, dikereta yang menjerit ini. Kereta melaju cepat. Dan kami terkejut, dan seperti biasa, tetap harus ada botol yang pecah. Bukan!, bukan karena kami saling bertengkar. Kami mengatur diri sendiri. Strategi-Taktik! Anda boleh menertawakannya. Tapi sudah lama kami menertawakan diri kami sendiri. Ada yang lemah disana-sini, lalu kami melakukan negosiasi. Meskipun rumus negosiasi kami masih dengan semangat demonstran: Negosiasi gagal, Bentrok!!!

Begitulah yang terjadi selama kami beristirahat, tapi biarkanlah. Kami sendiri yang merasakannya, yang menyimpan dan mengingatnya. Dan kini saatnya kami bicara yang lain, yang lebih sederhana, yang lebih biasa. Kami akan mencatat yang sepele ini, tapi orang sering lupa mencatatnya. Berkas-berkas ini kami rapihkan untuk catatan proses kami sendiri, dan yang patut kami bagi, akan kami bagi kepada anda semua. Juga peduli setan sekalipun anda semua tidak akan menganggapnya penting. Tapi sejak awal kami diingatkan agar jangan pernah berharap mampu mengerjakan hal-hal besar jika hal-hal kecil dan sederhana saja tidak bisa dikerjakan. Jangan berharap bekerja sama dengan banyak orang, jika diri sendiri justru lebih sering merepotkan orang.

Akhirnya, tak ada lagi batas untuk diruntuhkan, tak ada lagi mata rantai untuk dipatahkan selain pikiran anda sendiri. Kemabukan yang begitu tenang. Hasrat untuk hidup bebas, mencinta dan melarikan diri. Mimpi-mimpi telah mendahagakan diri akan harapan, menggigit dan menekan hidup. Interlude yang menggeliat, gerak yang melilit jemari, tangan yang meremas lembut dalam genggaman, melepaskan orgasme kemarahan kami lebih dari aksi apapun. Cinta yang tak akan terdefinisikan, begitu subtil. Maka saat itulah affair cinta kami dengan sebuah spirit yang tak bernama bermula...

Kawan, jangan takut saat matahari meninggalkanmu. Dan jangan khawatir saat bintang-bintang menelantarkanmu. Tataplah mereka setiap mereka hadir dan saat mereka sirna. Dan buatlah satu harapan,bahwa suatu hari kita semua akan menatapnya bersama-sama...sambil berpegangan tangan.







 







Catatan disuatu senja sambil terhanyut dalam alunan musik Emerson, Lake and Palmer yang terdengar sayup-sayup.

Nominalisme


Uang adalah perwujudan dari filsafat "nominalisme". Dalam bertransaksi dengan uang berlaku adagium nominalisme yang dikutip pada akhir novel terkenal Umberto Eco yang bertitel "The Name of the Rose" yaitu: "stat rosa pristina nomine nomina nuda tenemus", atau dalam terjemahannya kira-kira begini, bunga mawar telah ada jauh sebelum nama 'mawar' itu ada, namun kita selalu berpegang pada namanya belaka dan mengesampingkan bunga mawar itu sendiri.

Dalam buku yang membahas soal uang adalah "Philosophie des Geldes" (Filsafat Uang) yang ditulis oleh George Simmel, seorang filsuf dan sosiolog berkebangsaan Jerman. Salah satu dalil pokok dari filsafat Simmel ialah bahwa "semua hal harus dianggap saling terhubung atau masing-masing merupakan fungsi dari hal yang lain". (Pandangan ini biasa disebut 'relasionisme', yang kadang dimisinterpretasikan dengan 'relativisme'. Padahal relasionisme hanya menggarisbawahi bahwa semua yang ada saat ini terhubung dengan hal-hal lain, sementara relativisme menggarisbawahi kenisbian atau ketidakmutlakan dari hal-hal yang ada, utamanya kebenaran, etika dan keindahan). Relasionisme Simmel bertolak dari asumsi dasar filosofisnya yang menganggap bahwa realitas atau kenyataan itu pada hakekatnya ialah gerak, perubahan terus menerus, sebuah proses. Akan tetapi hakekat kenyataan sebagai sesuatu yang senantiasa mengalir ini, sebagai 'gelombang' atau 'vibrasi' dari energi menurut novel "Celestine Prophecy" karya James Redfield, hanya dapat ditangkap oleh manusia apabila intelek dan akal budi manusia mengejar pengetahuan adalah demi pengetahuan itu sendiri. Kebanyakan manusia menggunakan intelek atau akal budinya untuk mencari pengetahuan demi alasan-alasan pragmatis atau instrumental ini, realitas tampil sebagai fenomena yang solid, yang telah fix, yang dapat disebut sebagai 'substansi'. Manusia selalu beranggapan bahwa realitas adalah 'apa yang tetap', 'yang tak berubah', yang kelak disebut 'substansi' itu tadi. Seorang filsuf modern, Rene Descartes, misalnya, sangat menggaris bawahi konsep substansi ini sebagai "sesuatu yang untuk menjadi ada, tidak membutuhkan sesuatu yang lain lagi". Konsep ini bertentangan dengan 'relasionisme'. Pergeseran 'substansialisme' ke 'relasionisme' ini juga dapat diamati dalam pergeseran teori fisika: dari Newton ke Einstein, misalnya.

Pandangan dasar ini sangat tampak dalam uraian Simmel tentang masyarakat dan tentang uang. Masyarakat, bagi Simmel, adalah jumlah total interaksi dan saling ketergantungan antar individu, adalah jumlah 'gerak' dan 'aliran'. Namun, kita sudah terbiasa untuk sering menganggap masyarakat itu sebagai sebuah 'organisme', sebagai 'substansi', sebagai 'entitas yang utuh', padahal—padahal itu semua hanya imagined community.

Begitu juga uang. Bagi Simmel, uang bukanlah 'substansi' yang pada dirinya sendiri bernilai dan karenanya dapat ditukarkan dengan apa saja. Tidak. Uang pada hakekatnya ialah relasi, yakni relasi pertukaran, yang diwujudkan secara jasmaniah. Uang, dengan kata lain ialah sebuah simbol dari relasi pertukaran.

Ini sesuai dengan definisi uang menurut John Eatwell, Murray Mullgate dan Peter Newman, bahwa: "Money is a social relation. Like the meaning of a word, or the proper form of a ritual, it exists as a part of a system of behaviour shared by a group of people. Thought it is the joint creation of a whole society, money is external to any particular individual, a reality as unyielding to an individual's will as any natural phenomenon." (The New Palgrave: A Dictionary of Economics).

Dalam setiap masyarakat, orang haruslah berproduksi (memproduksi sesuatu) agar dapat bertahan hidup dan mengembangkan diri. Namun cara berproduksi atau berhubungan dalam produksi itu sebenarnya dapat diorganisir melalui berbagai cara yang berbeda satu sama lain. Salah satu dimensi yang membedakan cara-cara berproduksi ini ialah sejauh mana produk yang dihasilkan itu dikontrol oleh individu-individu pemilik (produsen) yang bertindak berdasarkan kepentingan pribadinya. Dalam sistem produksi komoditi, suatu produk yang dihasilkan ialah 'hak milik' seorang pemilik, yang dapat ditukarkannya dengan produk yang dimiliki orang lain, mula-mula dengan sistem barter, lalu melalui uang komoditi, dan saat ini akhirnya dengan nominalisme.

Suatu kerinduan untuk kembali ke alam jiwa, part.1


Kamu tau apa yg dikatakan Einstein ttg waktu? Detik, Jam, Hari, sekedar istilah untuk dikotomi langit terang & langit gelap.
24 jam, 365 hari, itu hanya satuan. Bagian dari sistem kalender yg bukan hanya satu didunia. Mari kita coba untuk lebih akrab sedikit dgn waktu, bukan hanya melihat dari sisi mekanisnya saja, tapi dari sisi yg lebih pribadi. Sebagaimana kata Einstein bahwa waktu itu seperti karet.Elastis. Berdasarkan pembagian waktu mekanis, relatif, dan ilusif.
Otak kita adalah generator bipolar. Setiap input langsung terbagi ke dua jalur. 



Jalur pertama, diterima oleh cortex, yg fungsinya menerjemahkan stimulus kedalam siklus atraktor yg terbatas, atau disederhanakan sedemikian rupa sehingga menjadi informasi yg terkategori, entah itu bau, rasa, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, cortex mengorganisasikan chaos. Sementara jalur kedua, input ditampung oleh semacam generator acak. Input disitu bersifat nonspesifik, tidak terstruktur. Begitu kompleks sehingga tidak ada informasi yg bisa diterjemahkan. Matti Bergstrom, ilmuwan Finlandia yg meneliti masalah ini. Ia mengatakan bahwa generator acak itu bisa kita rasakan waktu kita benar-benar baru bangun tidur. Kosong dan tidak ingat apa-apa, sampai akhirnya cortex kembali membanjiri kita dgn informasi. Mengingatkan namamu siapa, sejarah hidupmu bagaimana,hartamu apa aja, pacarmu yg mana..dll. Kekosongan yg kurang dari sedetik.

Waktu adalah konsep hasil terjemahannya cortex. Otak kita melakukannya dibawah sadar, semacam servis cuma", karena kita tidak sanggup mengerti chaos yg sebenarnya, yaitu kekekalan. Kekekalan adalah chaos, dan cortex menerjemahkannya menjadi masa lalu, masa skrg, dan masa depan. Agar kita tau apa rasanya tumbuh, berkembang dan berevolusi. Mati & hidup tak lebih dari sekedar gerbang pengalaman. Kita memilih mengalami keduanya dari detik pertama kita jadi embrio. Dan yg penting bukan pada kedua ujung itu, tapi proses ditengahnya. Dalam hidup ini, fisik kita pun melalui berbagai suksesi ritme, tubuh yg tumbuh, sel yg terus berganti, dan ritmis suksesi yg sama juga berlaku untuk seluruh penghuni alam raya ini. Waktu adalah catatan penunjang dari suksesi alam.


Ironisnya, konsep waktu dimunculkan manusia dilevel pikirannya. Bukan fisik. Sedangkan sel tidak mengenal konsep waktu. Ia hanya memperbaharui diri, terus menerus, tanpa ada keterkaitan dgn hitungan detik. Manusialah yg mengadakan linearitas waktu. Konsep waktu lahir dari keinginan fundamental manusia untuk punya kendali atas hidup, termasuk mengendalikan dirinya sendiri. Masa lalu, masa sekarang, dan masa depan sesungguhnya hanya satu gerakan tunggal, Kekekalan.


Ada dua aspek dlm memahami realita. Pertama, aspek lokal; yg berkenaan dgn otak sebagai organ yg empiris. Dan aspek global; yakni kesadaran yg mencakup semua pengalaman empiris, termasuk pengalaman memiliki organ otak itu sendiri. Sama halnya dgn otak, tubuh kita dan semua benda lain pun memiliki dua aspek. Ia memiliki elemen" nonlokal yg menjadikannya obyek kuantum, tapi di satu pihak ia juga obyek klasik yg memiliki massa dan penyebaran gelombang kuantumnya cenderung lambat. Kelambatan itu menyebabkan lintasan dari pusat masa obyek jadi sangat tertebak, yg akhirnya menciptakan semacam aura kontinuitas. Inilah yg disebut sebagai konsensus. Kompleksitas dari benda makro membutuhkan regenerasi waktu yg panjang untuk sampai bisa diterjemahkan. Dan inilah yg kemudian membentuk memori.


Sebuah otak memproduksi rata-rata 14.000 pemikiran/hari, 5 juta/tahun, dan 350 juta selama hidupnya. Untuk tetap waras maka mayoritas pemikiran itu hanya berupa pengulangan, atau gema. Dari sudut pandang fisikawan, semesta tak lebih dari sup kuantum yg membombardir indera kita dgn milyaran data setiap menitnya. Jumlah tersebut adalah chaos, dan harus bisa diorganisir kedalam angka yg terkendalikan. Disitulah otak mengambil peran. Dengan tujuh respon dasarnya, otak tidak hanya menjaga kewarasan, tapi juga mampu menyuguhkan seluruh semesta.


1. Respon hidup dan mati, yaitu respon paling dasar, lewat respon ini hidup diproyeksikan sebagai rimba perjuangan, dan tujuanmu satu, bertahan hidup.


2. Respon reaktif, yaitu upaya otak untuk menciptakan identitas. Setelah melewati tahap pertama, maka muncul kebutuhan yg lebih kompleks, yakni ke-aku-an, kepemilikan. Ini jugalah perkenalan pertama kita dgn konsep kekuasaan, aturan, dan hukum.


3. Respon relaksasi, ditengah hiruk pikuk dunia materi, otak yg senantiasa aktif pun menginginkan kedamaian. Ia ingin tenang, dan ia ingin yakin bahwa dunia luar bukanlah segalanya, dan ia mulai berpaling kedalam.


4. Respon intuitif, otak mencari info ke luar dan juga ke dalam. Pengetauan eksternal bersifat obyektif, dan yg internal bersifat intuitif. Pada tahap ini ia mulai bersandar pada apa yg ada di dalam.


5. Respon kreatif, manusia dimampukan untuk mencipta, mengeksplorasi fakta. Kemampuan ini datang pada momen yg penuh keajaiban, yg sering kita sebut inspirasi. Kita berkaca pada Sang Pencipta, dan melalui refleksinya kita mencicipi peran sebagai kreator.


6. Respon visioner, otak memiliki kemampuan kontak langsung dgn kesadaran murni yg sama sekali tidak ditemukan didunia materi. Pada level inilah terjadi apa yg namanya mukjizat atau fenomena" magis.


7. Respon murni, otak kita berawalkan dari satu sel yg tidak memiliki fungsi" otak. Ia berawal dari secercah kehidupan. Tak terkategori. Sekalipun ada sistemasi bilyunan syaraf yg bergantung pada otak, tapi otak sendiri tidak kehilangan akarnya pada kemurnian. Itulah sumber yg sesungguhnya. Sesuatu yg tidak perlu berpikir, namun ada.


Melalui ketujuh respon ini, manusia melihat dunia terbentang untuknya. Dan apa yg ia lihat tergantung dari respon mana yg ia pergunakan. Otak adalah alat yg disediakan bagi kita untuk bermain dgn hidup. Permainannya sendiri... Terserah anda.


Para spiritualis mengatakan, bahwa masa lalu dan masa depan hanyalah distraksi, menarik kita kedalam abstraksi mental yg tidak nyata. Tidak ada yg lebih penting daripada saat ini. Karena itulah momen saat potensi termanifestasi. Hanya pada saat ini kita mampu merasakan masa lalu dan mewujudkan masa depan. Saat ini selalu memperbaharui dirinya tanpa batas. Akan tetapi, begitu kita terjebak dlm linearitas, maka kita selamanya mengambang dipemahaman hidup yg paling dangkal.

Mengutip perkataan Goethe,
"Orang yg tidak dapat mengambil pelajaran dari masa 3000 tahun, hidup tanpa memanfaatkan akalnya."

Amunisi bagi pertempuran hidup sehari-hari.

Aku menolak menjadi sekedar teman, sekedar pecinta, sekedar eksis, apalagi sekedar manusia yang prototipnya tersebar di buku- buku panduan karir dan profesionalisme 'omong kosong' pasar bebas. Aku ingin lebih dari sekedar semua pemaknaan yang sudah masuk dalam kamus kosakata MTV. Aku ingin lebih dari sekedar 'Aku'. Aku ingin benderang dan mengiringi seperti malaikat, berkelebat dalam gulita dan menghantui seperti hantu. Aku ingin mempetisi langit, mengusung ronta bagi setiap kekang, menyulap urban seperti El Sup Marcos dan EZLN menyulap hutan, menyedak dedak kopi sisa malam-malamku menolak tidur dan memuntahkannya kembali pada setiap blueprint yang mencoba menyeragamkan dunia.

Mungkin juga diatas angka-angka kalkulasi yang kubuat sendiri disiang hari jika perlu, untuk kemudian bernubuwat rock n' roll seperti Jim Morrison sebelum dijemput maut dan kasat menyatu dengan atmosfer seperti bangkai dan belulang Tan Malaka. Aku sudah kadung bergairah untuk berikhthsar merealisasikan hasrat dan mimpi-mimpiku dimalam-malam kemarin. 'Seize the days' seperti murid-murid Robin Williams dalam The Dead Poets Society.

Aku akhiri pertemuan kali ini dengan me-ripp off slogan penerbit Insist: "BACA DAN LAWAN!", lalu kalau ada yang merasa terganggu dan muak, maka aku tawarkan untuk mencoba merancang intervensi ofensif baru...Silahkan "Bikin Barikade dan Lawan !!!", So...may the force be with you, young jedi!


Dibawah terik mentari ditengah belantara Nekropolis yang sekarat ini,1 agustus 2009.

Ini hanyalah sebuah awal…

Cium aku dengan gairah yang mengintrik erotisme,
dalam bayang-bayang yang berlari dalam pasir.
Sentuh aku sepenuh adrenalin yang dicuri dari berbagai momen.
Tekan aku dengan kelembutan yang terekspos dibawah reruntuhan Nekropolis.

Tak ada lagi batas untuk dirutuhkan,
tak ada lagi mata rantai untuk dipatahkan selain pikiranmu sendiri.
Kemabukan yang begitu tenang.
Hasrat untuk hidup bebas, mencinta dan melarikan diri.
Mimpi-mimpi telah mendahagakan diri akan harapan,
menggigit dan menekan hidup. 

Interlude yang menggeliat, gerak yang melilit jemari,
tangan yang meremas lembut dalam genggaman,
melepaskan orgasme kemerahanmu lebih daripada aksi apapun.
Cinta tak akan terdefinisikan, begitu subtil.
Maka saat itulah affair cintaku dengan sebuah spirit tak bernama bermula…

Cintailah kekasihmu seakan engkau mencintai dirimu sendiri,
bangunkan ia seakan engkau membangunkan dirimu sendiri,
lepaskan ia seakan engkau melepaskan dirimu sendiri,
jangan korbankan ia seperti engkau tak mau menyakiti dirimu sendiri.

Bentangkan sayapnya seperti engkau bentangkan sayapmu selebar engkau mampu,
dan bersamanya raihlah mentari, gapailah bulan.
Biarkan angin membisikan pada diri kalian kemana kalian akan melayang lepas, nikmati hembusannya, meliuklah dibalik awan dibawah sinar rembulan.
Dan gapailah bintang ditempat paling utara.

Dan untuk hanya satu kali,
tengoklah kebelakang dan ucapkan :
‘Selamat tinggal dunia yang kejam, kami telah memulai hidup’ .

Repetisi Nyanyian Kematian


Setiap nilai hidup yang direduksi menjadi konsumsi produk yang ditawarkan televisi,
Setiap nyanyian keluh manusia didalam supernova teknologi simulasi,
Dari tembok Berlin yang runtuh,hingga puing kerajaan Kremlin,
Sampai dominasi gedung putih dan rudal dari Pentagon.

Ketika kehidupan merupakan penimbunan mimpi yang menggila,
Menegasikan dirinya sendiri dalam suatu alur kontradiksi,
Sebuah sejarah yang tidak kita pelajari didalam institusi pendidikan,
Hasil reduksi perjuangan kelas demi pemenuhan material semata.

Suatu re-affirmasi kembali,
Ideologi kepatuhan dan ketidakberdayaan,
Setiap kepala yang sudah dinaungi peluru,
Dan menyerah pada kediktatoran kematian, atas kehidupan.

Deklarasi Pembentukan Tentara Merah (Red Army)

Dirilis pada akhir Mei 1970

MEMBANGUN TENTARA MERAH

Apakah babi-babi tersebut yakin bahwa kami akan membiarkan kamerad Baader berdiam di penjara untuk dua atau tiga tahun? Apakah babi-babi tersebut yakin kami akan berbicara mengenai pengembangan perjuangan kelas, re-organisasi proletariat, tanpa mempersenjatai diri pada saat yang sama? Apakah babi-babi tersebut yang pertama kali menembak, yakin bahwa kami akan membiarkan diri kami yang tanpa kekerasan ditembaki seperti di rumah jagal? Siapapun yang tidak mempersenjatai dirinya akan mati. Mulailah perlawanan bersenjata! Bangun Tentara Merah!

Red Army Fraction
Mei 1970

Statement Final Mengenai Bubarnya Red Army Fraction ‘Baader-Meinhof’
Dirilis tanggal 20 April 1998

GERILYA KOTA TINGGAL SEJARAH…

Hampir 28 tahun yang lalu, pada tanggal 14 Mei 1970, RAF secara resmi telah lahir sebagai sebuah bentuk dari aksi pembebasan, dan hari ini kami menyatakan bahwa kami mengakhiri proyek tersebut. Gerilya kota yang telah menjadi sikap dan dasar dari RAF telah menjadi sejarah. Kami, yaitu semua yang telah menjadi bagian dari organisasi ini hingga saat terakhir, telah mengambil langkah ini secara bersama-sama. Mulai kini, kami, seperti juga semua yang tergabung dalam asosiasi ini adalah anggota-anggota yang militan dari RAF. Kami berpijak pada sejarah kami dimana RAF adalah salah sebuah usaha revolusioner dari sekelompok kecil orang-orang untuk menolak dan melawan tendensi-tendensi tatanan mayarakat saat ini dan berkontribusi dalam melawan kapitalisme. Kami bangga telah menjadi bagian dari usaha tersebut walaupun pada akhirnya proyek ini memperlihatkan kepada kami bahwa kami tidak akan mungkin meraih sukses dengan menggunakan jalur ini.

Tetapi hal ini bukanlah penentangan kami terhadap revolusi. RAF adalah merupakan keputusan kami untuk memilih berdiri disamping rakyat dalam perjuangan melawan dominasi kapitalisme demi kemerdekaan seluruh dunia. Bagi kami, keputusan yang kami buat ini adalah benar. Ancaman hukuman penjara ratusan tahun bagi para anggota-anggota RAF yang tertangkap tidak menjadikan kami takluk ataupun membuat kami menyerah. Kami tetap menginginkan sebuah konfrontasi dengan kekuatan dari para penguasa. 27 tahun yang lampau kami bertindak sebagai subyek dari konfrontasi tersebut, dan hingga saat inipun kami tetap berpijak bahwa kami harus tetap menjadi subyek. Bagaimanapun hasilnya, RAF -seperti juga semua organisasi grass-roots yang masih berdiri hingga saat ini- tidaklah lebih dari sebuah fase transisi dalam jalur menuju kebebasan yang sesungguhnya. Setelah era perang dan fasisme, RAF membawa sesuatu yang baru kepada masyarakat yaitu: sebuah momen dimana kita dapat mempertajam kontradiksi antara proletar dengan tatanan sistem yang secara sistematis telah menjadi subyek dan mengeksploitasi proletar sebagai obyek dari struktur tersebut dimana proletar diciptakan dan dipaksa untuk berperang melawan sesama proletar.

Sebuah perjuangan dalam tatanan sosial, yang telah menempatkan kami sebagai oposisi, yang telah mendorong kebebasan sosial-politik beberapa langkah ke depan. Dan momen ini adalah saat kami mengambil saat untuk memilih keluar dari sistem, sebuah sistem yang menempatkan profit sebagai subyek dari segalanya dan menempatkan proletar sebagai obyek. Kami bergerak berawal dari penolakan, kepada penyerangan, hingga menuju kebebasan.

Tumbuhnya RAF Dari Secercah Harapan Akan Sebuah Kemerdekaan

Berlatar belakang dari tindakan-tindakan para gerilyawan dari daerah selatan melawan penduduk yang kaya raya di daerah utara, RAF muncul sebagai sebuah solidaritas pada pergerakan kebebasan dengan menggunakan taktik dan strategi perjuangan yang serupa. Di seluruh dunia, jutaan orang telah terlibat dan mengambil pilihan dalam perjuangan resistansi dalam usahanya meraih kemerdekaan dan melihatnya sebagai sebuah kesempatan bagi diri mereka sendiri. Di berbagai tempat di dunia ini, perjuangan bersenjata adalah salah satu harapan untuk tercapainya kemerdekaan. Begitupun di Jerman, ratusan orang telah menempatkan diri mereka dalam perjuangan bersenjata dari organisasi militan seperti Second Of June Movement, Revolutionary Cells (RZ), RAF dan juga Rote Zora. RAF muncul sebagai hasil dari diskusi-diskusi ratusan orang di Jerman yang mulai berpikir tentang perjuangan bersenjata sebagai jalan menuju kemerdekaan pada akhir tahun 1960 dan awal tahun 1970. RAF mengambil bagian dalam perjuangan melawan negara, sebuah negara yang tak akan pernah berubah dengan sistem sosialis nasionalnya yang muncul mengikuti fasisme partai Nazi. Perjuangan bersenjata adalah sebuah pemberontakan bersenjata melawan penguasa, melawan alienasi dan kompetisi. Perjuangan tersebut adalah pemberontakan demi tercapainya sebuah tatanan nyata dari sosial, politik maupun budaya. Dalam eforia dari usaha-usaha global untuk tercapainya kebebasan, sudah saatnya bagi sebuah perjuangan yang tegas untuk secara serius mengangkat senjata dan merubah strategi dan taktik, serta tidak lagi hanya menerima legitimasi pseudo-natural dari sistem yang berlaku.

Era 1975 - 1977

Dengan aksi pendudukan kedutaan Jerman di Stockholm tahun 1975, RAF meluncurkan sebuah fase selama waktu yang dianggap mungkin untuk membebaskan tapol/napol dari penjara. Aksi pertama kami yang dinamai “1977 Offensive” (Serangan 1977) dilakukan, dimana anggota-anggota RAF menculik Schleyer. RAF mengambil sikap untuk mempertanyakan struktur kekuasaan negara. Hal ini mulai menjadi sebuah sikap yang radikal dan tegas dalam usahanya untuk menyudutkan negara melalui posisi sebagai penyerang bagi kaum leftist revolusioner, melawan kekuasaan negara. Dan sudah sangat jelas bahwa negara akan berusaha untuk menghalangi usaha tersebut. Konflik yang meningkat secara cepat, walau bagaimanapun, kemudian juga berkontradiksi dengan latar belakang sejarah Jerman: yaitu terus berlangsungnya Nazisme di negara Jerman Barat, dimana kami memerangi hal tersebut dengan sangat ofensif. Schleyer, yang pernah menjabat sebagai anggota pasukan SS pada waktu rezim Nazi masih berkuasa penuh, seperti juga sisa-sisa Nazi yang masih ada di semua tingkatan masyarakat, mendapat kemudahan untuk kembali bekerja di kantor-kantor pemerintahan justru karena negara merasa berkewajiban untuk menghormati apa-apa yang pernah dia lakukan pada masa kejayaan Nazi. Kaum Nazi membangun karir bagi sisa-sisa anggotanya di Jerman Barat dengan menempatkan mereka pada posisi-posisi penting pada jabatan-jabatan di kantor pemerintahan, dalam kantor-kantor pengadilan negara, dalam aparatus kepolisian, dalam jabatan militer, media massa dan dalam perusahaan-perusahaan besar nasional. Sisa-sisa para anti-semit, rasis dan para pembantai di era Nazi dan juga orang-orang yang seharusnya bertanggung jawab atas banyak pembantaian pada era tersebut, justru kembali menjadi elit-elit pemegang kekuasaan. Schleyer-pun semenjak akhir era kejayaan Nazi bekerja bersama-sama dengan para kapitalis Jerman untuk berusaha membentuk sebuah region ekonomi Eropa yang akan berada dibawah dominasi Jerman.

Kaum Nazi menginginkan Eropa untuk berada dibawah kekuasaan mereka dengan cara berjuang melalui sistem industri dan penanaman modal. Dengan demikian, mereka ingin mengakhiri perjuangan kelas dengan cara memanfaatkan buruh-buruh berkebangsaan Jerman dan juga buruh-buruh yang dapat “menjadi seperti seorang Jerman”, serta kemudian memasukkan mereka kedalam masyarakat. Dengan seakan sudah terbebasnya rakyat dari fasisme rezim Nazi, hal tersebut sebenarnya justru mengilusi kesadaran rakyat dari kenyataan bahwa sebenarnya tak akan pernah ada kebebasan di bawah sistem kapitalisme. Setelah tahun 1945, Schleyer bekerja untuk menggolkan kepentingan-kepentingan yang sama dengan pada waktu era Nazi tetapi melalui bentuk yang lebih modern. Bentuk modern ini datang pada tahun 1970 dengan model sosial-demokrat. Sebagai kepala bagian industri negara, Schleyer kembali melanjutkan pembangunan sebuah sistem yang memandulkan setiap pergerakan resistansi sosial –sebagai contohnya, antara lain dengan cara memenjarakan para aktifis buruh atau dengan cara mengintegrasikan dan memberikan kontrak-kontrak jaminan keamanan.

Integrasi ini bertujuan untuk memasukkan sebanyak-banyaknya buruh berkebangsaan Jerman ke dalam segala sektor masyarakat. Disaat yang sama, para buruh imigran dikurangi jatah fasilitasnya di berbagai tempat kerjanya dan lebih dieksploitasi dalam berbagai bidang garapannya, hal ini jugalah yang menimbulkan bencana kelaparan di daerah-daerah pemukiman kaum imigran. Kontinuitas dari sistem yang oleh Schleyer terapkan –di tahun 1970 dengan model sosial-demokrat– adalah sebuah momen penting dalam pembangunan dan pemapanan Republik Federasi Jerman.

Represifitas Pada Setiap Suara Yang Kritis Dan Meningkatnya Tapol/Napol — Teknik Reaksioner Yang Sama Dengan Yang Diterapkan Oleh Kaum Nazi.

Aksi dari “1977 Offensive” mempertegas bahwa masih ada sebagian elemen rakyat yang tidak terintegrasikan dan terkontrol oleh sistem. Setelah kaum Nazi mengeliminir setiap resistansi, aksi-aksi dari kelompok-kelompok gerilya kota setelah tahun 1968 kembali kepada perjuangan kelasnya dan tidak lagi berintegrasi dengan kekuatan pemerintah manapun. Kasus penculikan Schleyer tidak membuat negara menjadi panik, tetapi hal ini justru memperkuat reprsifitas yang diberikan kepada siapapun yang mengekspresikan perbedaan pandangannya dengan sistem negara yang kemudian dinyatakan dalam keadaan darurat. Negara memerintahkan semua media massa untuk mengikuti jalur perkembangan dari Crisis Staff (badan negara yang bertugas saat negara dinyatakan dalam keadaaan darurat), dimana hampir semua media massa menyetujui hal tersebut untuk menghindari konfrontasi yang beresiko besar dengan tatanan sistem.

Kaum intelektual, yang telah diketahui oleh semua orang bahwa mereka tidak bersimpati kepada gerakan RAF, tetap mendapat perlakuan represif dari negara untuk menghindarkan sikap kritis dari mereka yang akan berefek menyebarnya dukungan terhadap RAF. Anggota-anggota dari Crisis Staff, dengan beberapa diantaranya merupakan wakil dari kaum militer, menerapkan cara yang sama dengan cara yang pernah Nazi gunakan –walaupun memang kaum Nazi lebih brutal dalam penerapannya– untuk menghapuskan setiap tindak perjuangan anti-fasis dan anti kapitalis. Dibawah rezim Nazi maupun di tahun 1977, negara menerapkan kebijakan-kebijakan yang tidak menyisakan pilihan diantara memberikan loyalitas dan rasa patriotisme kepada negara atau memilih untuk mendapat tindak represif.

Saat negara gagal untuk memaksa RAF mengembalikan Schleyer, negara kemudian mengambil kebijakan untuk membiarkannya dan menggantikan kedudukan Schleyer. Saat mencium akan adanya kecenderungan tersebut, kami memberikan aksi mengejutkan lainnya dengan membajak sebuah pesawat penumpang sipil dalam sebuah aksi gerilya yang merupakan bagian dari taktik penyerangan kami. Hal ini semakin menjelaskan bahwa RAF tidak berasosiasi dengan siapapun baik itu golongan dari sektor pemerintahan oposisi maupun dari sektor masyarakat –dimana keputusan RAF untuk mengklaim bahwa RAF bukanlah merupakan aksi rakyat kebanyakan adalah agar negara mengurangi represifitasnya pada orang-orang yang dianggap tidak bersalah. Walaupun tuntutan-tuntutan kami yang menginginkan agar semua tapol/napol di Jerman –yang hampir semuanya ditangkap atas aktifitasnya menentang penempatan eks-Nazi dalam kursi-kursi pemerintahan– untuk dibebaskan terlihat mulai menemui titik terang, dimensi perjuangan revolusi sosial justru tidak lagi bertambah jelas.

Dari 1970 Hingga 1980

Kami telah mempertaruhkan segalanya dan menderita berbagai kekalahan yang berat. Selama proses perjuangan mereka hingga akhir tahun 1970, telah tampak bahwa RAF tinggal menyisakan beberapa orang saja yang berasal dari periode awal di tahun 1968. Banyak anggota-anggota RAF dari pergerakan awal tahun 1968 telah menyerah dari pergerakan politik dan menggunakan sisa kesempatan mereka untuk membangun karir dan kembali kepada masyarakat biasa. RAF, sebagai bagian dari perjuangan anti-imperialis global, telah mengangkat senjata demi tercapainya kebebasan di Jerman Barat. Tahun 1977 telah memperlihatkan bahwa bagaimanapun juga RAF yang tidak termasuk kepada kekuatan politik oposisi legal maupun kekuatan militer, telah menciptakan situasi perang domestik kepada kekuatan neo-Nazi dan anti-kapitalis anti-imperialis. Sudah saatnya bagi kami untuk membuka lembaran baru dalam usaha perjuangannya untuk mencapai kemerdekaan yang sesungguhnya.

Pengalaman dari kekalahan kami di tahun 1977 telah membuktikan bahwa kami harus menggunakan strategi dan taktik baru selain menggunakan taktik gerilya kota cara kami. Telah dibutuhkan sebuah konsep baru untuk perjuangan menuju kemerdekaan. Kami membutuhkan sebuah basis baru yang bersedia bergabung dalam perjuangan sebagai segmen-segmen radikal dari pergerakan resistansi yang telah terbit diakhir tahun 1970an, yaitu basis massa rakyat. Tetapi konsep pembentukan front rakyat terhambat karena berbenturan dengan dasar pergerakan dari RAF di tahun 1970an. Aksi-aksi bersenjata nyatanya tetap menjadi fokus utama mereka dalam proses revolusioner yang dilihat sebagai sebuah perang demi sebuah kemerdekaan.

Pembentukan Front Anti Imperialis Di Tahun 1980an

Di sekitar tahun 1980an, terjadi beberapa perjuangan langsung melawan proyek-proyek yang tidak manusiawi dari sistem, perjuangan tersebut juga mengekspresikan pencarian akan sebuah bentuk baru dari tatanan kehidupan yang bebas. Sebuah revolusi sosiallah yang akan memperlihatkan sebuah kenyataan sosial baru, saat ini juga. Ribuan orang dari gerakan-gerakan baru tersebut turun ke jalan-jalan dalam tahun 1980 untuk memprotes hal-hal yang sama dengan apa yang RAF pernah berusaha serang sejak tahun 1979, yaitu: kebijakan militer dari negara-negara NATO, yang akan memungkinkan negara-negara Barat untuk membiayai berbagai perang secara simultan, perang melawan Soviet Union dan, dalam saat yang sama, seperti juga perang yang berupa intervensi melawan gerakan pembebasan dan revolusi, seperti di Nikaragua, dimana telah ditempuh satu langkah ke depan menuju pembebasan dari kediktatoran Barat.

RAF berasumsi bahwa kami tidak akan sendirian selama fase tersebut. Konsep yang ada dipenuhi dengan harapan bahwa sektor-sektor militan dari berbagai gerakan akan bergabung dalam sebuah front. Tetapi konsep ini gagal saat mendapati bahwa dalam proses membentuk sebuah situasi sosial, hanya beberapa orang saja yang dapat melihat hasil-hasil yang bisa dicapai bila dalam sebuah perjuangan menuju kebebasan ditempuh dengan cara setingkat level perang. Perjuangan menuju kebebasan, dimana momen sentralnya adalah perang, hanya mungkin apabila terdapat kekuatan-kekuatan dalam massa yang bergerak menuju ke arah itu –setidaknya dalam bentuk elemen radikal dari sebuah gerakan.

Tetapi hingga bagi mereka yang telah melakukan aksi solidaritaspun –yang memang sangat sedikit jumlahnya– sama sekali tidak berpikiran mengenai perjuangan setingkat pemikiran dari RAF dalam benak mereka. Sebuah perang gerilya membutuhkan sebuah ekspansi pada perspektif massa hingga semuanya –setidaknya sebagian besar massa– ke tahap pemikiran dalam level perjuangan bersenjata. Hal ini sangatlah esensial dari penerapan taktik gerilya tersebut, sementara RAF tidak mampu untuk menerapkan hal tersebut. Gagasan RAF dengan taktik perjuangan bersenjatanya, dalam point-point penting perjuangan telah menempatkan proses perubahan politik dan budaya menjadi seakan kurang penting. Pada akhirnya, pembentukan front tetap tidak dapat menghilangkan batasan antara sebuah gerakan massa dengan gerilya.

Di tahun 1980, RAF beroperasi dengan asumsi bahwa sebuah revolusi sosial akan mungkin apabila dilakukan serangan-serangan dalam inti strutur kekuasaan dari imperialisme. Dengan pendekatan seperti ini, politik-politik yang dilakukan oleh RAF menjadi semakin abstrak. Hal ini malah memisahkan apa yang seharusnya berada dalam satu konteks menjadi dua konteks yaitu: anti-imperialis dengan revolusi sosial. Konteks revolusi sosial menghilang dari teori-teori dan praksis dari RAF. Orientasinya menjadi sekedar membuat barisan anti-imperialis yang dalam hasilnya adalah pembentukan front anti imperialis. RAF bukan menjadi sebuah jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan sosial. Inilah yang menjadi kesalahan fundamental bagi RAF.

Gema yang ditimbulkan dalam massa tetap terbatas, karena usulan untuk membentuk sebuah kesadaran dalam massa dan mendorong timbulnya kontradiksi pokok antara massa proletar dengan negara –sebuah momen sentral dari setiap proses revolusioner– telah menghilang. Selain bahwa RAF terlihat berusaha menghancurkan kontrol yang didominasi negara dengan meningkatkan intensitas serangan-serangannya, prioritasnya meningkat dalam dimensi militer. Penekanan tersebut tetap berlanjut selama tahun 1980an dan itulah yang mendefinisikan perjuangan RAF.

Kami melakukan serangan-serangan melawan proyek-proyek NATO seperti komplek-komplek industri penting milik militer, bersama-sama dengan grup-grup gerilya lainnya di Eropa Barat; sebagai sebuah usaha menggabungkan semuanya kedalam satu Front Gerilya Eropa Barat, dimana di dalamnya tergabung RAF, Action Directe di Perancis, dan Red Brigades/PCC di Italia. RAF berkonsentrasi –sekuat kemampuan mereka– dalam menyerang proyek-proyek NATO dan setelah 1984, menyerang formasi dari kekuatan baru blok-blok barat dari negara-negara Eropa Barat. Yang menjadi fokus serangan tetaplah disesuaikan dengan kekuatan kami yang terbatas dan yang sesuai dengan identifikasi RAF. Usaha-usaha untuk membentuk sebuah front dengan grup-grup lain dari perjuangan resistansi diatas ternyata tidak terealisasikan. Dengan demikian maka front yang sedang dibangun itu hancur, karena terlalu banyak energi yang dihabiskan hanya untuk memutuskan bagaimana membuat front dengan benar. Selama usaha pembentukan front ini, terjadi pemapanan di sisi kami sendiri yang sama karakternya dengan mendemonstrasikan politik yang lebih kecil resikonya, memapankan politik lama, bukannya membuat sebuah politik baru, hal ini jelas sangat berseberangan dengan usaha menuju kearah kebebasan.

Dan ini adalah juga merupakan waktu dimana RAF dan mereka yang telah tertangkap, mengabaikan berbagai kesulitan dan tetap tak mau menyerah, memperlihatkan bagaimana kami tetap bertahan tidak termoderasi oleh berbagai keadaan dan tetap berkomitmen untuk membuat sebuah kondisi melawan kekuatan penguasa. Hal ini memberikan harapan yang baik bagi mereka yang menginginkan perjuangan melalui kolektifitas dan kebersamaan dalam melawan isolasi dan alienasi yang terbentuk dalam tatanan masyarakat.

Perjuangan mereka yang ditahan melawan isolasi penjara dan demi bergabungnya mereka semua kembali, demi perjuangan, demi harkat dan martabat dan demi kebebasan, yang juga sama dengan apa yang telah sejak lama pernah dilakukan oleh banyak orang, adalah sesuatu yang dapat dengan mudah dikenali oleh banyak orang. Sikap non-kompromis dari RAF dan mereka yang ditahan melawan kekuatan penguasa tampak sangat jelas dihadapan para penguasa yang telah berusaha menekan setiap perjuangan menuju kehidupan baru yang bebas.

Kami, Yang Hampir Sebagian Besar Sangat Terlambat Berorganisasi Dalam RAF…

…bergabung dalam harapan bahwa perjuangan kami dapat mengkontribusikan sebuah masukan baru bagi revolusi global dalam merubah kondisi saat ini. Kami membawa perubahan bagi perjuangan menuju kebebasan, sebagai sebuah jalan baru dimana kami dapat menggabungkan diri kami dengan mereka yang berada di jalan lain. Dan kami ingin memberikan sesuatu bagi mereka yang telah berjuang sebelum kami, dan bagi mereka yang telah gugur atau dikirm ke penjara. Perjuangan dengan taktik ilegal telah secara atraktif memberikan efek yang jelas kepada kami. Kami ingin menghancurkan batas yang menghalangi kami untuk bebas dari apapun yang telah mengikat kami dengan sistem.

Perjuangan bersenjata yang memang jelas-jelas ilegal, bagi kami, tidak lebih sebagai sebuah jalan yang cocok dan sangat mungkin dalam sebuah proses menuju kebebasan. Tetapi juga, terlebih lagi dalam menanggapi krisis gerakan leftist di seluruh dunia, kami ingin menggunakan gerilya kota sebagai sebuah kemungkinan dan membuatnya tetap ilegal sebagai sebuah proses menuju kebebasan. Tapi kami juga sadar bahwa kami sendiri sangatlah tidak cukup. Taktik gerilya sendiri, juga merupakan sesuatu yang harus terus berubah, berevolusi. Harapan kami adalah untuk dapat membuat garis baru antara taktik gerilya dengan taktik berbagai sektor lain yang merupakan gerakan resistansi di tengah-tengah massa. Untuk merealisasikan hal ini, kami mencari sebuah proposal baru, dimana semua perjuangan dari berbagai bentuk hingga perjuangan gerilya dapat berdiri bersama-sama.

Hal Itu Sangat Penting Bagi Kami, Menyusul Runtuhnya Jerman Timur, Untuk Membawa Perjuangan Kami Sejalan Dengan Situasi Sosial Yang Baru.

Kami ingin untuk mengambil langkah untuk berkorelasi dengan mereka yang mimpinya berakhir dengan hancurnya DDR dan penggabungannya dengan Jerman Barat. Sebagian telah melihat kenyataan bahwa ‘sosialisme yang benar-benar eksis’ bukanlah pembebasan sama sekali. Sedangkan sebagian lainnya, yang menjadi bagian dari oposisi bagi sosialisme yang benar-benar eksis di Jerman Timur, telah memimpikan mengenai sesuatu yang berbeda baik itu dari kapitalisme maupun dari sosialisme yang benar-benar eksis. Banyak orang yang tinggal di DDR dan mereka yang menuntut reunifikasi dengan Jerman Barat mulai mempelajari sesuatu yang baru, sebuah situasi sosial yang tertekan lengkap dengan seluruh jaminan keamanan yang secara drastis eksis.

Kami ingin berhubungan dengan orang-orang tersebut, selama situasi historis yang sangatlah tidak jelas bagi semua orang, yang telah berjuang demi pembebasan dalam konfrontasinya dengan negara Jerman Barat dan juga dengan mereka yang telah dijejali dengan kemapanan reaksioner yang benar-benar rasis dalam Jerman timur yang sudah tidak eksis lagi. Kami tidak ingin membuat orang-orang tersebut menjadi golongan sayap kanan atau juga menyepelekan mereka. Kami melihat bahwa dimensi ini dapat berubah dan diselesaikan dengan sebuah proyek baru yang bersifat pembebasan internasionalis dimana semua kenyataan yang ada baik itu di Jerman Timur ataukah di Jerman Barat akan saling berhubungan. RAF, yang memiliki akar sejarah dalam gerakan perlawanannya di Jerman Barat, tidak dapat menerima hal ini.

Usaha Untuk Membangkitakan Kembali RAF Pada Tahun 1990 Adalah Sebuah Proposal Yang Tidak Realistis

Kami ingin mentransformasikan sebuah konsep yang terbit pada gerakan tahun 1968 kepada konsep internasionalis dan berwawasan revolusi sosial sebagai sebuah bentuk yang baru disesuaikan dengan kondisi obyektif dalam tahun 1990an. Saat inilah waktu dimana kami mencari sesuatu yang baru, tetapi masih terikat oleh dogma-dogma dari tahun-tahun terakhir. Kami tidak menjadi seradikal seperti saat kami mulai dulu. Karenanya kami telah membuat kesalahan yang sama yang pernah kami lakukan di tahun 1977: kami mengharapkan secara berlebihan dukungan untuk melanjutkan perjuangan dengan cara ini ini.

Secara fundamental, adalah berbahaya apabila taktik perjuangan bersenjata didiskreditkan sementara pada saat yang sama tidak pernah sama sekali diterangkan bagaimana sebuah perjuangan bersenjata dapat memperkuat perjuangan menuju pembebasan. Sangatlah perlu untuk melihat kembali pada issue ini dalam konteks yang lebih dapat dipertanggung jawabkan karena hampir selalu perjuangan-perjuangan bersenjata didiskreditkan –walaupun situasinya berbeda, karenanya perlu lagi sebuah penerangan mengenai hal tersebut. Krisis yang terjadi, saat kami yang tersisa mencapai batasnya pada tahun 1980an dan mulai berpencar sedikit demi sedikit, membuat kami terpaksa memutuskan untuk berusaha membuat jaringan terhadap RAF kepada beberapa proyek yang merupakan sebuah proposal yang sangat-sangat tidak realistis. Kami sudah terlalu terlambat –walaupun untuk sekedar mentransformasikan RAF kedalam bentuknya yang baru setelah sebuah periode refleksi. Kritik dan oto-kritik tidaklah bertujuan untuk mengakhiri sesuatu, tetapi lebih kepada memperkuat sesuatu yang telah ada. Pendeknya, akhir dari RAF bukanlah sama sekali merupakan hasil akhir dari proses kami mengkritisi diri dan mempertimbangkan kritik yang ada serta refleksinya, tetapi lebih merupakan karena pemikiran bahwa hal tersebut memang perlu, karena konsep RAF tidak mencakup elemen-elemen baru yang penting dan berguna dimana sesuatu yang baru dapat muncul.

Saat kami memperhatikan segmen ini melalui sejarah kami pada khususnya bersamaan dengan proses sejarah pad umumnya, usaha untuk membuat RAF kembali menjadi sebuah proses politis yang kuat, lebih merupakan sebuah perpanjangan saja dari sesuatu yang pada perpsektifnya memang sudah seharusnya berakhir. Kami perlu untuk melihat kenyataan bahwa bentuk-bentuk perjuangan, diatas semua hal tersebut, tetaplah memiliki konsep-konsep lama. Tidak ada artian-artian baru, sesuatu yang mungkin dapat menawarkan sebuah prespektif alternatif bagi masyarakat kelas pekerja dan kondisi ekonomi yang berorientasi pada akumulasi modal yang jelas sangat tidak manusiawi. Sebuah perspektif alternatif sebagai sesuatu yang dapat dijadikan fondasi bagi perjuangan pembebasan masa depan yang dapat menyatukan rakyat bersama.

Mengikuti kekalahan yang diderita pada tahun 1993, kami tahu bahwa kami tidak dapat berjalan seperti saat kami dulu bermula, dan dengan demikian kami mengistirahatkan perjuangan kami pada tahun 1992. Kami yakin bahwa kami telah memiliki tujuan yang benar dengan apa yang kami yakini, tapi kami telah melakukan beberapa kesalahan taktis yang sangat serius. Kami ingin memikirkan lagi hal ini sekali lagi berbarengan dengan mereka yang ada di penjara, untuk kemudian mengambil sebuah langkah baru. Tetapi pada akhirnya, adalah sangat menyakitkan saat sebuah kelompok narapidana politik dari anggota-anggota kami yang memisahkan diri, kemudian mendeklarasikan bahwa kami adalah musuh, yang dengan demikian menghapus kondisi penting yang dulu telah membuat RAF bertahan, yaitu solidaritas dan perjuangan secara kolektif.

Proses Pembebasan Diri Kami Sendiri…

…adalah sesuatu hal yang penting bagi kami, juga karena kami selalu terlihat menjadi stagnan. Kami memiliki hasrat kolektif sebagai sebuah hasrat untuk menembus batas dan bentuk-bentuk alienasi. Tetapi kontradiksi antara perang dan pembebasan seringkali diabaikan dan tidak pernah kami bicarakan sama sekali. Perang revolusioner juga menghasilkan alienasi dan struktur pemerintahan, yang jelas merupakan kontradiksi bagi kebebasan. Melihat hal tersebut, seharusnya hal tersebut tidak dilihat sebagai pemapanan sebuah struktur, melainkan sebagai sebuah kemungkinan untuk timbulnya sebuah kesadaran. Disisi lain tanpa mengatakan bahwa sebuah struktur pemerintahan yang baru akan muncul, dapat dikatakan bahwa harus adanya penguatan baik dalam segi politik maupun dalam hubungan personal. Fakta menunjukkan sendiri hal tersebut dalam kejadian-kejadian saat struktur hirarkis dari front anti imperialis pada tahun 1980 yang seringkali berubah serta kecenderungan munculnya struktur pemerintahan selama perpecahan pada tahun 1993. Dan hal itu juga menunjukkan bagaimana melalui pemikiran-pemikiran dan analisa-analisa mainstream, dimana dalam sejarahnya, RAF malahan mendorong mereka yang berjuang disini bersama kami tidak lagi melihat adanya tujuan untuk menuju kepada sebuah revolusi total.

Adalah Sebuah Kesalahan Strategis Untuk Tidak Membentuk Organisasi Sosial-Politik Bersamaan Dengan Organisasi Bersenjata Ilegal

Tak ada fase dalam sejarah kami yang meraup pemikiran bahwa organisasi politis seharusnya ada bersamaan dengan perjuangan politis-militan yang bersenjata. Konsep dari RAF hanya melihat perjuangan bersenjata yang terfokuskan pada penyerangan-penyerangan yang bersifat politis-militan. Dalam communique-communique formatif dari RAF pada pertengahan tahun 1970an, pertanyaan-pertanyaan penting seperti ini tidak pernah diekspos sama sekali. Secara khususnya di Jerman, belum pernah ada pengalaman-pengalaman sebelumnya mengenai taktik gerilya kota. Berbagai hal dilakukan dan dipelajari langsung melalui aksi-aksi dimana kesalahan dan kegagalan kami sadari secara langsung.

Setidaknya, tidak pernah terdapat sebuah orientasi yang menuju pada pertanyaan yang timbul tersebut, entah itu bahwa bagaimana sebuah gerakan menuju pembebasan dapat dimapankan melalui sebuah organisasi ilegal dan perjuangan bersenjata ataukah bahwa pembangunan gerakan gerilya harus bersamaan dengan pembangunan struktur politis yang bermula sebagai sebuah proses yang mendasar. Bulan Januari 1976, beberapa kamerad kami yang tertangkap dan dipenjara, pernah menulis mengenai hal ini, menyatakan bahwa hanya sebuah perjuangan bersenjata ilegallah yang dapat menjadi oposisi nyata bagi imperialisme.

Konsep yang diajukan pada bulan Mei 1982 juga memapankan posisi ini, mengesampingkan semua kontradiksi serta fakta bahwa hal tersebut adalah usaha untuk menemukan sebuah asosiasi politik berbarengan dengan orang lain. Karena konsep ini pulalah maka tidak pernah terjabarkan bagaimana sebuah perjuangan bersenjata seharusnya berada di pusat metropolis. Aktifitas politik yang muncul dari terbentuknya front mengkomunikasikan penyerangan dalam struktur radikal para leftist.

Kekurangan sebuah organisasi politik selama lebih dari 20 tahun menghasilkan semakin melemahnya proses politis secara berkesinambungan. Aksi-aski politis-militan di metropolis selama beberapa dekade terakhir hanyalah merupakan pra-kondisi untuk konsep ini. Strategi dasar RAF adalah pada sebuah perjuangan bersenjata, dalam berbagai cara yang berbeda selama fase tersebut, tetapi tak ada point dimana aksi-aksi militan dapat menuju kepada: bahwa aksi tersebut adalah pilihan taktis dari strategi pembebasan yang komprehensif. Kelemahan ini juga yang mengarah kepada fakta bahwa organisasi kami tidak dapat mentransformasikan dirinya setelah melalui dua dekade. Pra-kondisi untuk menempatkan fokus dari perjuangan dalam level politik –yang merupakan apa yang kami ingin lakukan pada tahun 1992– tidak tercapai. Tetapi pada akhirnya, jelas sekali bahwa hal tersebut menghasilkan kegagalan strategis yang sangat fundamental.

Kurangnya organisasi sosial-politik adalah kesalahan fatal bagi RAF. Hal tersebut bukanlah satu-satunya kesalahan, tetapi itulah alasan terpenting mengapa RAF tidak dapat menjadi proyek pembebasan yang semakin kuat, dan pada akhirnya pentingnya pra-kondisi yang terlupakan adalah untuk membangun sebuah gerakan perjuangan yang mengarah kepada pembebasan, satu hal yang dapat memiliki pengaruh yang kuat dalam ruang lingkup sosial. Kesalahan juga terdapat pada konsepnya sendiri, seperti contohnya, bahwa bagaimana sejarah RAF sebenarnya juga memperlihatkan bahwa konsep RAF tidak relevan lagi dalam proses pembebasan di masa depan.

Akhir Dari RAF Datang Bertepatan Dengan Masa Dimana Seluruh Dunia Berkonfrontasi Dengan Efek-Efek Dari Neo-Liberalisme — Perjuangan Internasional Melawan Pemindahan, Alienasi, Dan Bagi Sebuah Tujuan Dan Kenyataan Sosial Yang Berbeda Secara Fundamental Sebagai Sebuah Oposisi Bagi Seluruh Kemapanan Kapitalisme

Hubungan sosial yang bersifat kedalam maupun yang bersifat global memperkuat turbulansi bagi pemapanan sejarah yang diikuti oleh berakhirnya sosialisme nyata yang eksis. Meskipun demikian, hal tersebut bukanlah merupakan sebuah kontradiksi bagi kami untuk menghentikan proyek kami ini disaat kami masih melihat kebutuhan bahwa apapun yang berguna dan mungkin harus dilakukan sehingga sebuah dunia tanpa kapitalisme dapat datang, sebuah dunia dimana emansipasi bagi manusia dapat direalisasikan.

Mengingat efek yang menghancurkan dari runtuhnya sosialisme nyata yang eksis di seluruh dunia, dan kemiskinan dari jutaan rakyat di daerah-daerah ex-Uni Soviet, sangatlah tidak cukup pada hari ini berbicara mengenai berbagai kesempatan yang dibawa dengan berakhirnya sosialisme nyata yang eksis. Meskipun demikian, kami juga menemukan bahwa pembebasan yang nyata tidaklah mungkin dibawah model dari sosialisme nyata yang eksis. Adalah mungkin untuk menggariskan konsekwensi dari pengalaman anti-emansipatoris dengan konsep sosialisme nyata yang eksis yang penuh dengan birokrasi negara dan bersifat otoriter, sehingga ditemukan jalur pembebasan di masa depan.

Dengan runtuhnya sosialisme nyata yang eksis, kompetisi diantara sistem yang ada turut berakhir, yang berarti bahwa para pendukung sistem kapitalis merasa tidak perlu lagi untuk membuat sistem mereka jadi tampak ‘lebih baik’. Dalam ketiadaan pengecekan secara ideologis pada para pemodal, sebuah proses pengglobalan kapitalisme telah dihasilkan, yaitu bahwa segala bentuk kemanusiaan ditujukan hany bagi kepentingan para pemodal. Neo-liberalisme adalah fondasi ekonomi ideologis bagi seluruh dunia yang didorong ke depan melalui optimalisasi dan evaluasi masyarakat dan alam demi kepentingan pada pemodal. Para representatif dari sistem ini menamakan hal ini sebagai ‘reformasi’ atau ‘modernisasi’.

Sudah semakin jelas bahwa pemapanan sistem saat ini akan membawa sebagian besar umat manusia kedalam kesulitan eksistensial dan sosial. Bagi mayoritas terbesar rakyat di dunia ini, neo-liberalisme membawa dimensi baru yang mengancam kehidupan mereka. Dalam perjuangan demi hegemoni politik dan kekuatan ekonomis, hanya bentuk ekonomi-ekonomi yang dapat bertahan adalah yang dapat meningkatkan kapasitas melalui korporasi-korporasi yang menjadi segmen masyarakat yang lebih kecil. Efek samping dari sistem ini mengarah kepada perubahan mendalam dalam kondisi masyarakat.

Secara jauh ke depan, hal tersebut akan meningkatkan kemiskinan dan kebrutalan hingga pada jauh ke depannya lagi akan dijumpai perang dan barbarianisme. Jika kepentingan ekonomi politik ada pada urutan pertama dari segala kepentingan, bangsa-bangsa yang kaya akan berintervensi dalam konflik dengan perang yang mereka ciptakan sendiri dalam kepentingan untuk melindungi akses tak terbatas pada bahan baku di seluruh dunia ini dan memapankan kedudukan mereka yang memegang tampuk kekuatan. Mereka tidak akan pernah peduli bagaimana mereka akan menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat, mereka akan memilih untuk mengontrol kehancuran dimana sistem mereka akan menggerakkan semua keuntungan kepada hanya sebagian kecil masyarakat saja.

Hal ini bukanlah sebuah kontradiksi, melainkan lebih merupakan sebuah bagian dari sistem yang logis dimana korporasi transnasional dan multinasional akan mendapat kekuatan yang lebih besar daripada sebelumnya, dengan keuntungan yang jauh lebih besar daripada sebelumnya, dalam fase sistem politik yang menciptakan krisis di seluruh dunia, memilah-milahkan masyarakat, dan memiskinkan sektor-sektor terbesar dari massa dan memakmurkan sejumlah kecil masyarakat yang tinggal di metropolitan yang tinggal jauh dari sumber-sumber bahan baku.

Dalam paradoksnya, kesuksesan dalam memaksimalisasikan keuntungan oleh para pemodal dan runtuhnya berbagai bentuk sosial berarti juga memaksa kapitalisme hingga titik batasnya. Kemapanan mereka sendiri justru terancam bahaya diatas segalanya, dimana juga dihasilkan barbarianisme yang mencolok. Dari pemapanan sistem tersebut, proses negatif akan berlanjut, hingga suatu saat dimana sebuah proposal menuju pembebasan yang dapat mengajak kekuatan-kekuatan baru bersama-sama menggulingkan sistem yang ada sekarang ini. Tetapi hari ini, tidak hanya kekalahan historis yang tertinggal bersama dengan kekerasan hubungan sosial yang mengglobal, tetapi juga terdapat gerakan-gerakan pemberontakan yang dapat menggariskan berbagai pengalaman perlawanan dalam sejarah global.

Dalam pemapanan yang bersifat global, kapitalisme, yang juga terdapat di metropolis, berusaha membeli kedamaian sosial yang disebut sebagai ‘welfare system’. Dimana bagaimanapun juga sebagian besar segmen masyarakat termarginalkan karena tidak lagi dibutuhkan proses produksi di pusat-pusat metropolis. ‘Kekuatan dunia’ dan ‘welfare state’ tidak dapat lagi eksis dibawah satu atap. Di Eropa sebagai contohnya, ‘welfare state’ yang lama menjadi terhegemoni secara ekonomi dan politik dari Jerman, dengan Jerman berperan sebagai sebuah negara rasis di garis depan dalam seluruh kontinen yang berubah menjadi sebuah ‘police-state’. Polisi dan militer dikirim untuk melawan mereka-mereka yang berusaha memutuskan mata rantai dari lingkaran kemiskinan, perang dan penindasan. Masyarakat penuh dengan penjara. Polisi dan petugas keamanan memaksa para gelandangan keluar dari area perbelanjaan para konsumen, tidak ketinggalan juga memaksa keluar mereka para generasi muda yang marah pada kondisi konsumtif dan kelas borjuis. Pengenalan kembali dengan berbagai fasilitas yang mengarah kepaa sifat konsumtif segera berubah menjadi penjara bagi anak-anak. Usaha untuk mengontrol jumlah populasi dan pengungsi dalam waktu dekat akan dilakukan dengan kartu-kartu sosial dan dikomputerisasi, akan segera diberlakukan. Polisi dipersenjatai untuk melawan gerakan-gerakan penentangan hingga batas akhir. Pengeluaran, represifitas dan pemindahan. Walaupun kesempurnaan manusia yang berarti juga merupakan rekayasa genetik tidak lagi merupakan sesuatu yang tak mungkin. Pengeluaran dan represifitas melalui hilangnya rasa sosial dalam masyarakat akan terjadi baik disini maupun dimanapun juga. Rasisme yang berasal dari bawah mengancam kehidupan jutaan massa, dimana Jerman yang telah mendapat reputasi rasis dalam sejarah akan berkelanjutan membawa masyarakat dengan sikap rasisme ini. Pengeluaran orang-orang yang ditunjuk dari kalangan atas dan agresi melawan mereka dari kalangan bawah adalah ekspresi kebrutalan masyarakat yang terus berkembang dari hari ke hari. Hanya mereka yang tidak berkontradiksi dengan efisiensi dari sistem ekonomi yang merasa diuntungkan dimana segala sesuatu akan dapat digunakan sebagai modal, dapat dikapitalkan dan dijadikan komoditi. Apapun yang berada diluar kepentingan para pemodal tidak akan diberi lahan untuk dapat hidup dan berkembang. Mereka-mereka yang tidak dapat hidup disini dan tak mempunyai lagi keinginan untuk hal tersebut –dan mereka yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya setiap hari– berbicara tentang kekosongan sistem yang ada saat ini dan mengenai betapa kerasnya kehidupan di masyarakat.

Dipasarkannya masyarakat dan kekerasan di rumah-rumah dan di jalanan, adalah merupakan kekerasan yang sistematis, kebekuan sosial diantara sesama masyarakat, kekerasan terhadap perempuan –semuanya adalah ekspresi dari kondisi yang patriarkis dan rasis. RAF selalu berdiri dalam kontradiksi bagi mentalitas terbesar dari segmen masyarakat saat ini. Hal itu adalah merupakan hal yang terpenting dalam proses menuju pembebasan, karena bukan hanya kondisi yang bersifat reaksioner, tetapi karakter orang-orangnyalah yang reaksioner sebagai hasil kondisi yang ada, dan secara berkala hal seperti inilah yang melemahkan kemungkinan-kemungkinan menuju pembebasan.

Tak disangsikan lagi, ini semua mengenai eksistensi untuk melawan dan berjuang melawan rasisme dan segala bentuk penindasan. Garis tegas di masa depan demi pembebasan harus mulai dibuat dan mencakup juga hal-hal ini, harus ditemukan sebuah kunci untuk membuka apa-apa yang selama ini tertutup, kesadaran reaksioner dan dapat membangkitkan hasrat untuk menuju emansipasi dan pembebasan.

Kenyataan Dunia Saat Ini Membuktikan Bahwa Akan Lebih Baik Apabila Gelombang Revolusi Global, Dimana RAF Adalah Merupakan Bagian Dari Hal Tersebut, Dapat Berhasil

Gelombang revolusi global, dimana RAF juga muncul dari adanya tujuan untuk hal tersebut, tidak sukses dimasa lampau, yang tapi bukan berarti bahwa destruktifitas dan ketidak adilan yang semakin mapan hingga saat ini tidak dapat digulingkan. Fakta bahwa kami masih belum melihat jawaban yang untuk hal tersebut yang dapat menggantikan dan menutupi kesalahan-kesalahan yang pernah kami buat. RAF datang dari sebuah gerakan revolusioner dekade lampau yang belum melihat bagaimana sistem ini akan semakin mapan dengan caranya sendiri sekarang ini, tetapi setidaknya ditemukan sebuah ancaman terhadap sistem yang telah ditunjukkan. Kami tahu bahwa sistem ini akan menyisakan semakin sedikit dan semakin sedikit saja orang-orang yang berusaha hidup dengan keyakinan dan harga dirinya. Dan kami juga mengerti bahwa sistem ini mencari akses penuh pada masyarakat sehingga mereka dapat menguasai seluruh sistem yang berlaku dan mengarahkan segalanya demi kepentingan pribadi mereka sendiri. Radikalisme kami berangkat dann berkembang dari kenyataan yang ada. Bagi kami, kami tidak mengalami kerugian apa-apa dari perjuangan kami melawan sistem ini. Perjuangan kami –dengan kekerasan– mengalami masa yang penuh dengan kesulitan, mengalami masa yang berat.

Perang pembebasan memiliki bayangannya sendiri juga. Menyerang orang-orang yang berfungsi sebagai abdi negara merupakan kontradiksi bagi pemikiran dan perasaan hampir seluruh para revolusioner di seluruh dunia –yang bagi mereka merupakan kontradiksi dengan inti dari gerakan pembebasan itu sendiri. Walaupun ada saat dimana fase-fase tersebut yang terdapat dalam proses menuju pembebasan dipandang sebagai sesuatu yang diperlukan, karena masih ada orang-orang yang berada pada posisi penindas mempertahankan kekuatan mereka sendiri dan juga mempertahankan kekuatan sesamanya. Para revolusioner berpendapat bahwa sebuah dunia yang seharusnya adalah sebuah dunia dimana tak seorangpun berhak menentukan siapa saja yang berhak hidup ataupun yang tidak. Meskipun demikian, kekerasan kami telah menmbuat marah beberapa orang dengan cara yang tidak rasional. Teror yang sesungguhnya adalah sesuatu yang normal dalam sistem ekonomi saat ini.

RAF Bukanlah Jawaban Untuk Pembebasan — Tetapi Merupakan Salah Satu Aspek Dari Hal Tersebut

Walaupun banyak pertanyaan yang tetap tak terjawab hingga hari ini, kami yakin bahwa dari ide-ide pembebasan hingga ke masa depan, benih-benih dari sebuah tatanan masyarakat yang bebas akan terus muncul dan tumbuh, jika hal itu benar-benar mencakup berbagai varietas yang dibutuhkan untuk merubah kondisi-kondisi yang ada saat ini. Sangatlah tidak berguna untuk membicarakan ‘jalan yang benar’, aspek-aspek diluar kehidupan dimana segala sesuatu dianggap tidak efisien, hanya demi mencari sebuah subyek revolusioner. Proyek pembebasan di masa yang akan datang akan ditemukan melalui berbagai amcam subyek dan varietas dari aspek dan kemungkinan-kemungkinan yang ada. Kami membutuhkan sebuah proposal baru dimana individual-individual atau kelompok-kelompok sosial yang terlihat sangat berbeda dapat menjadi subyeknya, dan bisa bergerak bersama-sama. Dalam cara ini, proyek pembebasan dimasa depan tidak membawa konsep-konsep tua yang ditinggalkan oleh Jerman pada tahun 1968, atau konsep yang digunakan oleh RAF maupun organisasi lainnya. Kenikmatan untuk membangun sebuah proyek pembebasan yang meliputi segala aspek, anti-otoritarian, dan dapat menyatukan kita semua tergantung kepada diri kita saat ini, walaupun dengan sedih kami katakan bahwa hal tersebut saat ini sangat jarang ditemui. Kami melihat bahwa orang-orang dimana-mana di seluruh dunia ini yang berjuang demi hal ini, akan menemukan cara setelah mereka mempelajari banyak cara. Kami menggariskan harapan dari fakta yang ada, bahwa dimanapun, walaupun itu di sudut negara yang paling ketat sekalipun –dimana hegemoni kultural dari kaum fasis mengikat sangat kuat– masih terdapat orang-orang yang telah berani bergabung bersama melawan rasisme dan neo-nazisme, untuk melindungi diri mereka sendiri beserta yang lainnya dan juga untuk berjuang.

Sangatlah penting untuk menemukan kenyataan bahwa kita semua ada di sebuah jalan buntu dan kita harus menemukan jalan keluar. Maka akan sangat berharga apabila kita mengabaikan hal-hal yang hanya mengarah kepada tingkatan teoritikal saja. Keputusan kami untuk mengakhiri sesuatu adalah juga sebuah ekspresi dari pencarian kami akan jawaban-jawaban yang baru. Kami tahu bahwa kami bergabung bersama banyak sekali orang di seluruh dunia ini dalam pencarian yang sama. Akan terjadi banyak diskusi di masa yang akan datang hingga semua pengalaman akan dibawa bersama dan kami akan memiliki sebuah gambaran yang realistis dan merefleksikan sejarah.

Kami ingin menjadi bagian dari tulang sendi gerakan pembebasan. Kami ingin menjadikan beberapa proses yang telah kami alami dipelajari, dan kami juga ingin mempelajari proses-proses dari yang lain. Hal ini tidak menempatkan akan pentingnya vanguard yang akan memimpin perjuangan. Walaupun konsep sebagai vanguard telah kami hapuskan dari pengertian-pengertian kami selama perjuangan kami bertahun-tahun, konsep lama dari RAF ternyata tidak dapat menghapuskan benar-benar hal tersebut. Hal inilah yang menjadi alasan lain mengapa kami harus memotong konsep ini dari diri kami sendiri.

Gerilya Di Metropolis Telah Membawa Perang Kembali Kedalam Perut Sang Monster, Kepada Negara-Negara Imperialis Yang Membiayai Perang Mereka Diluar Pusat Kekuatan Mereka Sendiri

Mengabaikan segala sesuatu dimana kami dapat melakukannya dengan lebih baik, sangatlah benar secara fundamental untuk melawan kondisi-kondisi di Jerman Barat dan mencari cara yang lebih baik dalam gerakan perlawanan sebagai tindak kelanjutan perlawanan dalam sejarah Jerman. Kami ingin untuk membuka kesempatan yang baik bagi perjuangan revolusioner di metropolis. RAF mengambil lapangan sosial untuk perjuangannya dan berusaha mengembangkannya selama lebih dari dua dekade, sebuah lapangan perjuangan yang secara historis sangatlah jarang ditemui, dengan kurangnya gerakan-gerakan melawan fasisme, dan dimana mayoritas populasi masih merasa perlu untuk memberikan loyalitasnya pada fasisme dan barbarianisme.

Tidak seperti di negeri-negeri lain, di Jerman, pembebasan dari fasisme telah berdatangan dari luar negeri. Tidak ada penentuan sendiri cara melepaskan diri dari fasisme ‘dari bawah’ di negeri ini sendiri. Sangat sedikit sekali orang-orang di negeri ini yang menolak fasisme, terlalu sedikit dibandingkan dengan perkembangan manusianya. Mereka yang berjuang dengan perlawanan dari kaum yahudi, perlawanan dari kaum komunis –dan dalam apapun bentuk perlawanan anti-fasisme– ditemukan berjuang disini. Dan mereka akan selalu dapat dibenarkan. Mereka adalah secercah cahaya dalam sejarah negeri ini yang sejak tahun 1933, fasisme mulai membunuh segala aspek sosial masyarakat negeri ini.

Dalam kontrasnya bagi rakyat banyak, trend yang berlaku dalam masyarakat selalu secara kurang lebih menerima apa yang dikatakan oleh mereka yang ada di tampuk kekuasaan; penguasa memutuskan apa yang harus dilegitimasi. Dalam kehancuran nilai sosial dari masyarakat ini, dimana sebuah pra-kondisi telah dimulai oleh pembantaian yang dilakukan oleh kaum Nazi, tidak ada bedanya dengan berbagai momen esensial yang terjadi hingga hari ini. RAF menghancurkan tradisi Jerman setelah fasisme Nazi dan menolak untuk menerima hal tersebut dilegitimasikan. RAF muncul sebagai sebuah kebangkitan melawan hal tersebut. Hal tersebut dilakukan tidak hanya menolak kelanjutan sebagai gerakan nasional dan sosial, tapi lebih diutamakan sebagai perjuangan internasionalis dalam tempat negasi ini, sebuah perjuangan dimana praksisnya menolak kondisi penguasa di negara Jerman dan menyerang struktur militer yang beraliansi dengan NATO. Di seluruh dunia, aliansi ini, yang merupakan struktur hirarkis dari Amerika Serikat, adalah kekuatan yang menggerakkan tanpa pernah ada pertanyaan tentang siapakah sebenarnya yang memimpin, yang kemudian hanya bertujuan untuk memerangi pemberontakan-pemberontakan dan gerakan-gerakan pembebasan dengan cara yang militeristik atau perang.

Gerilya yang dilakukan di metropolis membawa perang –dimana para imperialis membiayai perang dan membawanya keluar dari titik pusat sentral kekuasaannya– kembali kedalam perut sang monster. Kami menjawab kondisi kekerasan dengan revolusi yang menggunakan kekerasan juga. Tidaklah mungkin bagi kami untuk melihat kembali kepada cara-cara yang lebih halus dan sempurna dalam sejarah Jerman. Tapi kami berusaha untuk melakukan sesuatu, dan dengan melakukannya kami melangkahi banyak hukum-hukum yang diciptakan oleh penguasa dan memasuki dan melewati batas-batas dari masyarakat borjuis.

RAF tidak mungkin untuk menyediakan jalan menuju pembebasan. Tapi apa yang telah dikontribusikan selama lebih dari dua dekade pada faktanya memberikan banyak masukan dan pemikiran mengenai pembebasan hingga hari ini. Meletakkan sistem sebagai sesuatu yang perlu dipertanyakan –walaupun masih juga dilegitimasi– selama masih terdapatnya dominasi dan penindasan diatas kebebasan, emansipasi dan harga diri bagi semua orang di dunia ini.

Masih ada sembilan anggota militan dari perjuangan RAF yang masih mendekam di penjara. Walaupun perjuangan demi pembebasan masih jauh dari titik akhir, konflik-konflik yang ada telah menajdi bagian dari sejarah. Kami mendukung segala usaha dan cara untuk membawa mereka para narapidana konlik tersebut keluar dari penjara.

Saat ini kami ingin menyampaikan salam dan rasa terima kasih bagi semua yang menawarkan solidaritas pada kami di jalan kami untuk selama 28 tahun yang lalu, yang telah mendukung kami dalam berbagai cara, dan bagi yang telah berjuang bersama kami dengan cara yang mereka dapat lakukan. RAF telah memutuskan untuk mengkontribusikan segala perjuangannya demi pembebasan. Intervensi revolusioner di negeri ini dan sejarahnya tidak akan pernah mendapat tempat jika saja banyak orang yang tidak mau berorganisasi dalam tubuh RAF sendiri, dan tidak mengambil bagian bagi diri mereka sendiri pada perjuangan ini. Sebuah jalur yang sama telah tergariskan dibelakang diri kita semua. Kami berharap bahwa kami akan menemukan diri kami bersama lagi dalam masa yang tidak diketahui dalam hembusan nafas pembebasan.

Pemikiran kami ada bersama mereka di seluruh dunia yang kehilangan hidup mereka dalam perjuangan melawan dominasi dan demi pembebasan. Tujuan yang mereka gariskan adalah tujuan dari hari ini dan hari esok –hingga semua hubungan akan berubah dimana seseorang sebagai obyek rendahan, yang diabaikan akan menjadi sangat dihargai. Sangat menyedihkan saat banyak dari mereka yang telah memberikan hidupnya, tetapi kematian mereka sama sekali tidak dihargai. Mereka telah hidup demi perjuangan dan pembebasan di masa yang akan datang.

Kami tidak akan pernah melupakan kamerad-kamerad kami yang tergabung dalam Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP) yang kehilangan hidupnya dalam musim gugur tahun 1977 dalam aksi solidaritas internasional, yang bertujuan untuk membebaskan para tahanan dan narapidana politik. Hari ini kami secara spesial ingin memberikan kenangan pada mereka yang telah memutuskan untuk menyerahkan segalanya demi perjuangan bersenjata disini dan telah kehilangan hidupnya. Kenangan kami dan segala respek kami dipersembahkan bagi mereka yang namanyapun kami tidak tahu, karena kami memang tidak mengenal mereka, dan juga bagi…

Petra Schelm
Georg von Rauch
Thomas Weissbecker
Holger Meins
Katharina Hammerschmidt
Ulrich Wessel
Siegfried Hausner
Werner Sauber
Brigitte Kuhlmann
Wilfried Bose
Ulrike Meinhof
Jan-Carl Raspe
Gudrun Ensslin
Andreas Baader
Ingrid Schubert
Willi-Peter Stoll
Michael Knoll
Elisabeth van Dyck
Juliane Plambeck
Wolfgang Beer
Sigurd Debus
Johannes Timme
Jurgen Peemoeller
Ina Siepmann
Gerd Albartus
Wolfgang Grams

Revolusi berkata… dulu Aku… sekarang Aku… dan Aku akan muncul kembali…


Red Army Fraction