Salam 1/2 merdeka,
Gagasan Tan Malaka tentang Republik
Indonesia tersebar dibanyak buku. Jauh sebelum Sumpah Pemuda maupun
Prokamasi Kemerdekaan. Gejolak revolusi mengharuskan seorang
revolusioner seperti Tan berada dalam kancah perjuangan fisik daripada
dibalik meja. Namun, melalui karyanya,seperti; Soviet atau Parlemen
(1922), Naar de Republiek Indonesia (1925), Massa Actie (1926), dan
Madilog (1942), kita dapat menyatukan mozaik gagasan republik yang
tercerai-berai itu.
Tan memberikan perumpamaan tentang burung gelatik
untuk menjelaskan republik yang ia angankan. Burung ini terlihat
seperti makhluk yang lemah dan banyak yang mengancamnya. Didahan yang
rendah, dia harus waspada terhadap kucing yang siap menerkam. Akan
tetapi, didahan yang lebih tinggi juga bukan merupakan tempat yang aman
baginya. Ada elang yang siap menyambar sang gelatik sehingga hidupnya
tidak merdeka. Ia hidup penuh ketakutan dan terancam. Serba tidak bebas.
Bagi Tan Malaka, Indonesia harus bebas dari ketakutan seperti ini.
Bebas dari belenggu dan teror pemangsa.
Tapi, jika burung gelatik
berada dalam satu rombongan besar, ia akan bebas menjarah padi disaat
sawah sedang menguning. Burung gelatik yang sesaat lalu terlihat seperti
makhluk yang lemah, dilain pihak ia bisa berubah drastis menjadi
pasukan penjarah yang rakus tiada ampun. Keringat petani selama empat
bulan terbuang sia-sia, padinya habis disantap sekawanan gelatik. Selain
bebas dari penjajahan, merdeka bagi Tan Malaka bukan berarti bebas
menjarah dan menghancurkan bangsa lain. Merdeka itu dua arah: bebas dari
ketakutan dan tidak menebar teror terhadap bangsa lain. Inilah prinsip
Indonesia merdeka.
Setelah merdeka, bangunan Indonesia harus punya
bentuk. Ketika para pejuang lain baru berpikir tentang persatuan, Tan
Malaka sudah maju beberapa langkah memikirkan Republik Indonesia. Brosur
Naar de Republik Indonesia (Menuju Republik Indonesia) sudah ditulis di
Kanton, Cina pada 1925, tiga tahun sebelum deklarasi Sumpah Pemuda.
Dengan
tegas Tan Malaka menyatakan, bahwa eks Hindia Belanda harus menjadi
Republik Indonesia. Namun republik dalam gagasan Tan Malaka tidak
menganut trias politika ala Montesquieu. Republik versi Tan Malaka
adalah sebuah negara efisien, yaitu Republik yang dikelola oleh sebuah
organisasi. Tan Malaka tidak percaya terhadap parlemen. Bagi Tan
Malaka, pembagian kekuasaan yang terdiri atas eksekutif, legislatif, dan
parlemen hanya akan menghasilkan kerusakan. Pemisahan antara orang yang
membuat undang-undang dan yang menjalankan aturan menimbulkan
kesenjangan antara aturan dan realitas. Pelaksana dilapangan (eksekutif)
adalah pihak yang langsung berhadapan dengan persoalan yang
sesungguhnya. Eksekutif selalu dibuat repot dalam menjalankan tugas
ketika aturan dibuat oleh orang-orang yang hanya melihat persoalan dari
jauh (parlemen). Demokrasi dengan sistem parlemen melakukan ritual
pemilihan 5 tahun sekali. Dalam kurun waktu demikian lama, mereka sudah
menjelma menjadi kelompok sendiri yang sudah berpisah dari masyarakat.
Sedangkan kebutuhan dan pikiran rakyat berubah-ubah. Karena para anggota
parlemen itu tak bercampur-baur lagi dengan rakyat, sudah seharusnya
mereka tak berhak lagi disebut sebagai wakil rakyat.
Konsekuensinya
adalah parlemen memiliki kemungkinan sangat besar menghasilkan kebijakan
yang hanya menguntungkan golongan yang memiliki modal, jauh dari
kepentingan masyarakat yang mereka wakili.
Kalau kita tarik ke zaman
sekarang, mungkin Tan Malaka bisa menepuk dada. Dia akan menyuruh kita
menyaksikan sebuah negara yang parlemennya dikuasai oleh wakil buruh,
seperti Inggris, yang kemudian menyetujui penggunaan pajak hasil
keringat buruh untuk berperang menginvasi negara lain.
Akhirnya,
parlemen dimata Tan Malaka tak lebih dari sekedar warung tempat
orang-orang adu kuat ngobrol. Mereka adalah para jago berbicara dan
membual, bahkan kalau perlu sampai urat leher menojol keluar. Tan Malaka
menyebut anggota parlemen sebagai golongan tak berguna yang harus
diongkosi negara dengan biaya tinggi.
*bersambung.
No comments:
Post a Comment