Wednesday, October 24, 2012

Gagasan 'Republik' dalam kepala Tan Malaka.

Salam 1/2 merdeka,
Gagasan Tan Malaka tentang Republik Indonesia tersebar dibanyak buku. Jauh sebelum Sumpah Pemuda maupun Prokamasi Kemerdekaan. Gejolak revolusi mengharuskan seorang revolusioner seperti Tan berada dalam kancah perjuangan fisik daripada dibalik meja. Namun, melalui karyanya,seperti; Soviet atau Parlemen (1922), Naar de Republiek Indonesia (1925), Massa Actie (1926), dan Madilog (1942), kita dapat menyatukan mozaik gagasan republik yang tercerai-berai itu.


Tan memberikan perumpamaan tentang burung gelatik untuk menjelaskan republik yang ia angankan. Burung ini terlihat seperti makhluk yang lemah dan banyak yang mengancamnya. Didahan yang rendah, dia harus waspada terhadap kucing yang siap menerkam. Akan tetapi, didahan yang lebih tinggi juga bukan merupakan tempat yang aman baginya. Ada elang yang siap menyambar sang gelatik sehingga hidupnya tidak merdeka. Ia hidup penuh ketakutan dan terancam. Serba tidak bebas. Bagi Tan Malaka, Indonesia harus bebas dari ketakutan seperti ini. Bebas dari belenggu dan teror pemangsa.


Tapi, jika burung gelatik berada dalam satu rombongan besar, ia akan bebas menjarah padi disaat sawah sedang menguning. Burung gelatik yang sesaat lalu terlihat seperti makhluk yang lemah, dilain pihak ia bisa berubah drastis menjadi pasukan penjarah yang rakus tiada ampun. Keringat petani selama empat bulan terbuang sia-sia, padinya habis disantap sekawanan gelatik. Selain bebas dari penjajahan, merdeka bagi Tan Malaka bukan berarti bebas menjarah dan menghancurkan bangsa lain. Merdeka itu dua arah: bebas dari ketakutan dan tidak menebar teror terhadap bangsa lain. Inilah prinsip Indonesia merdeka.


Setelah merdeka, bangunan Indonesia harus punya bentuk. Ketika para pejuang lain baru berpikir tentang persatuan, Tan Malaka sudah maju beberapa langkah memikirkan Republik Indonesia. Brosur Naar de Republik Indonesia (Menuju Republik Indonesia) sudah ditulis di Kanton, Cina pada 1925, tiga tahun sebelum deklarasi Sumpah Pemuda.


Dengan tegas Tan Malaka menyatakan, bahwa eks Hindia Belanda harus menjadi Republik Indonesia. Namun republik dalam gagasan Tan Malaka tidak menganut trias politika ala Montesquieu. Republik versi Tan Malaka adalah sebuah negara efisien, yaitu Republik yang dikelola oleh sebuah organisasi. Tan Malaka tidak percaya terhadap parlemen. Bagi Tan Malaka, pembagian kekuasaan yang terdiri atas eksekutif, legislatif, dan parlemen hanya akan menghasilkan kerusakan. Pemisahan antara orang yang membuat undang-undang dan yang menjalankan aturan menimbulkan kesenjangan antara aturan dan realitas. Pelaksana dilapangan (eksekutif) adalah pihak yang langsung berhadapan dengan persoalan yang sesungguhnya. Eksekutif selalu dibuat repot dalam menjalankan tugas ketika aturan dibuat oleh orang-orang yang hanya melihat persoalan dari jauh (parlemen). Demokrasi dengan sistem parlemen melakukan ritual pemilihan 5 tahun sekali. Dalam kurun waktu demikian lama, mereka sudah menjelma menjadi kelompok sendiri yang sudah berpisah dari masyarakat. Sedangkan kebutuhan dan pikiran rakyat berubah-ubah. Karena para anggota parlemen itu tak bercampur-baur lagi dengan rakyat, sudah seharusnya mereka tak berhak lagi disebut sebagai wakil rakyat.


Konsekuensinya adalah parlemen memiliki kemungkinan sangat besar menghasilkan kebijakan yang hanya menguntungkan golongan yang memiliki modal, jauh dari kepentingan masyarakat yang mereka wakili.
Kalau kita tarik ke zaman sekarang, mungkin Tan Malaka bisa menepuk dada. Dia akan menyuruh kita menyaksikan sebuah negara yang parlemennya dikuasai oleh wakil buruh, seperti Inggris, yang kemudian menyetujui penggunaan pajak hasil keringat buruh untuk berperang menginvasi negara lain.


Akhirnya, parlemen dimata Tan Malaka tak lebih dari sekedar warung tempat orang-orang adu kuat ngobrol. Mereka adalah para jago berbicara dan membual, bahkan kalau perlu sampai urat leher menojol keluar. Tan Malaka menyebut anggota parlemen sebagai golongan tak berguna yang harus diongkosi negara dengan biaya tinggi.

*bersambung.

No comments:

Post a Comment